Senin, 01 Agustus 2011

FILSAFAT DAN TEORI HUKUM POST MODERN ( Dr. Munir Fuady, S.H, M.H, LL.M )

FILSAFAT DAN TEORI HUKUM POST MODERN ( Dr. Munir Fuady, S.H, M.H, LL.M )

BAB I
Dunia Hukum Sedang Bergejolak

Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang Vietnam pada awal dekade 1960-an? Mengapa kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana? Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas menara gading itu? Semua ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi manusia di bumi ini.
Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.

Science is an essentially anarchistic enterprise: Theoretical anarchism is more humanitarian and more likely to encourage progress than its law-and-order alternatives (Paul Feyerabend, 1982: 17).

Bagi para penganut ajaran postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal, harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarah-musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Aliran postmodern ini masuk pula ke dalam bidang hukum, yang bersama-sama dengan paham terakhir di bidang hukum, saat itu, yaitu paham realisme hukum serta bersama pula dengan paham kritis radikal seperti aliran Frankfurt di Eropa, mereka bersama-sama mempolakan suatu aliran baru dalam bidang hukum, yang tentu saja radikal, yaitu yang disebut dengan aliran hukurn kritis (critical legal studies). Seorang pelopor utama dari aliran critical legal studies, yaitu Roberto Mangabeira Unger menyatakan bahwa:

the critical legal studies movement has undermined the central ideas of modem legal though and put another conception of law in their place
(Roberto Mangabeira Unger, 1986: 1).

Dalam berbagai bidang ilmu terdapat berbagai variasi terhadap visi dan perkembangan aliran terakhirnya di abad kedua puluh itu. Ada yang secara langsung melawan paham sebelumnya berupa paham positivisme yang sangat dipengaruhi oleh pola pikir ilmiah – rasional berdasarkan ilmu dan teknologi. Aliran-aliran hukum yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dengan cara berpikir dengan menggunakan rasio yang abstrak-silogisme sebagaimana yang dilakukan paharn positivisme dari Agust Gornte, ajaran hukum. murni dan grundnorm dari Hans Kelsen dari Jerman, ataulbun ajaran hukum alam, bahkan ajaran-ajaran seperti dari Durkheirn, Von Jhering, Max Weber, dan Gustav Radbruch sebelumnya sudah dilabrak habis oleh aliran realisme hukum pada, sekitar dekade 1930-an. Jadi, tidak benar jika ilmu hukum selalu bersifat konservatif dan cenderung mempertahankan status quo sebagaimana yang dituding oleh banyak orang.
Aliran realisme hukum ini melakukan pembangkangan terhadap teori dan konsep hukum yang ada dengan mengajukan banyak pertanyaan penting terhadap hukum. Hanya saja, eksistensi kehidupan aliran. realisme hukum tersebut kemuthan memang dalarn keadaan megap-megap dan dunia hukum menjadi semakin redup setelah meninggalnya para pelopor dari aliran realisme hukum itu, terutama dengan meninggalnya Karl Llewellyn, Joreme Frank, dan Felix Cohen.
Akan tetapi, kemudian dunia hukum kembali bersinar lagi, terutama dengan munculnya aliran baru pada akhir abad ke~20 yang disebut dengan critical legal studies.
Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti – liberal, antiobiektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodem, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu, di mana aliran critical legal studies ini dengan menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, mereka mengubah haluan hukurn untuk kernudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Modernisme mengakibatkan militerisme. Karena unsur religius dan moral tidak berdaya, manusia cenderung menggunakan kekuatan kekuasaan sehingga perang crengan senjata canggih, kekerasan, ataupun militerisme tidak terelakan. Meskipun penggunaan agama secara fundamentalis juga dapat mengakibatkan hat yang sama afas nama perjuangan menegakkan agama secara kaku.

Sebagai konsekuensi penggunaan kekuasaan secara koersif, maka timbullah kembali paham tribalisme, yang hanya mementingkan suku atau kelompoknya sendri.
(I. Bambang Sugiharto, 1996:30).

Perkembangan dunia modern yang sarat dengan ilmu dan teknologi dan dengan cara berpikir yang sekuler dan kapital – liberalisme, ternyata telah membawa petaka berupa kehancuran planet bumi sekaligus merupakan ancaman terhadap kehidupan dan peradaban manusia. Karena itu, di mana-mana dewasa ini semangat menyelesaikan segala persoalan manusia dengan mengikutsertakan pertimbangan spiritual sudah mulai bergema lagi. Faktor agama yang suclah lama tidur lelap karena dipandang hanya sebagai candu yang meninabobokan masyarakat, diundang untuk turun tangan kembali. Jika pada masa-masa lalu ternyata agama dapat bersikap aktif dan komunikatif, dengan adaptasi-adaptasi tertentu, diharapkan tentunya agama tersebut dapat memainkan perannya kembali.

Relativisme
Merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua putusan terhadap nilai bersifat relatif terhadap perspektif dan tujuan yang terbatas. Jadi, tidak ada tempat berpijak yang secara objektif menentukan bahwa sesuatu itu secara normatif benar atau tidak.sekarang zaman postmodern telah datang, yang akan menjungkirbalikkan hampir semua asumsi dan pola pikir zaman modern yang terkesan congkak (arogan) tersebut.
Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis lainnya.

BAB II
Sketsa Post Modern : Porak – Porandanya Pengetahuan

Istilah “postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan. Itulah dia watak postmodem, suatu ungkapan sangat populer, tetapi tanpa definisi yang jelas.
Di samping itu, bagi kaum postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
Paham postmodem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu kebenaran baru ada jika adanya hubungan yang selaras antara. statement yang diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori korespondensi:

“Jika Anda berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam lemari es itu untuk membuktikan apakah perkataan Anda benar. “
(Stanley J. Gren-i, 2001: 69).

Oleh kaum realis, teori korespondensi ini dianggap berlaku universal dimana-mana. Menurut kaum realis, pikiran manusia, dapat mengetahui suatu realitas secara, utuh sehingga. dunia dapat digambarkan secara. utuh, lengkap, dan tepat termasuk menggambarkan rahasia alam semesta, melalui ilmu pengetahuan. Dan kesemuanya itu dapat digambarkan dengan suatu bahasa. yang tepat. Dengan demikian, menurut kaurn postmodem, bahasa. berfungsi sebagai permainan catur, yang memiliki aturan bagaimana seharusnya, suatu pion digerakkan. Jacli, bahasa. ticlak dapat begitu saja clihubungkan dengan suatu realitas karena bahasa ticlak menggambarkan realitas secara tepat clan objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan dunia. dengah berbagai cara. bergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa. tersebut.
Dengan demikian, aliran critical legal studies, yang antara lain merupakan refleksi aliran postmodem ke dalam bidang hukum mencoba memberikan suatu jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa hukum pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis, filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di samping itu, dengan pendekatan secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam masyarakat, menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru, yang memporak-porandakan premis hukum yang lama.

BAB III
Pengaruh Dari Realisme Hukum

The life of the law has not been logic, it has been experience … the law can not dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics.,
(Oliver Wendell Holmes)

A. Latar Belakang Lahirnya Aturan Realisme Hukum
Gerakan critical legal studies, yang semula merupakan keluh kesah dari beberapa pernikir hukum di Amerika Serikat yang kritis, tanpa disangka ternyata begitu cepat gerakan ini nenemukan jati dirinya dan telah menjadi suatu aliran tersendiri dalam teori dan filsafat hukum. Dan ternyata pula bahwa gerakan ini berkembang begitu cepat ke berbagai negara dengan kritikan dan buah pikirnya yang cukup segar dan elegan..
Sebagaimana biasanya suatu aliran dalarn filsafat hukurn, maka aliran realisme hukum juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan nonhukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktor perkembangan sosial dan politik.
Walaupun begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari William James dan John Dewey itu sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap ajaran dari Roscoe Pound.
Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam dunia filsafat sangat berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang dikembangkan dan dianut oleh William James dan John Dewey. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnya merupakan landasan filsafat terhadap aliran realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para penganut dan inspirator aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau Oliver Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme hukum ini.
Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan atau overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran tersebut justru saling berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan penganut aliran sociological jurisprudence, merupakan, salah satu pengritik terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan namanya, aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih nyata dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence.

B. Konsep Pemikiran Dari Realisme Hukum
Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagaimana. memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada masa yang akan datang.
Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari . aliran realisme hukurn dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal-sosial terhadap politik hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan dari mitos “hukurn yang netral” yang melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan menganalisis bagaimana sistern hukurn mentransformasi fenomena sosial yang sarat dengan unsur politik ke dalam simbol-simbol operasional yang sudah dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran critical legal studies dengan tegas menolak upaya-upaya dari ajaran realisme hukum dalam hal upaya aliran realisme hukum untvk memformulasi kembali unsur “netralitas” dari sistern hukum.
Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya sendiri lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka. menyebutnya sebagai “gerakan” realisme hukum (legal realism movement). Nama populer untuk aliran tersebut memang “realisme hukum” (legal realism) meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain seperti: Functional Jurisprudence. Experimental Jurisprudence. Legal Pragmatism. Legal Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific Jurisprudence. Constructive Scepticism.

C. Hubungan Realisme Hukum Dengan Critical Legal Studies
Kaum realist hukum tidak percaya terhadap pendekatan pada hukum yang dilakukan oleh kaurn positivist dan naturalist, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa hakirn hanya menerapkan hukurn yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran formalisme hukurn bahwa penalaran hukum (legal reasoning) merupakan penalaran yang bersifat syllogism, di mana premis mayor berupa aturan hukurn dan premis minor berupa fakta-fakta yang relevan, sedangkan hasilnya berupa putusan hakim. Menurut ajaran realisme hukum, aliran positivisme maupun allran formalisme sama-sama meremehkan penerapan hukum oleh hakim, di mana menurut golongan ini, peranan hakirn hanya sebatas menerapkan hukum atau paling jauh hanya menafsirkan hukum seperti yang terdapat dalarn aturan perundangundangan. Sebaliknya, menurut aliran realisme hukum, hakim tidak hanya menerapkan atau menafsirkan hukum. Dalarn banyak hal, ketika hakirn memutuskan perkara, hakirn justru membuat hukum. Hukurn yAng dibuat oleh hakirn ini umumnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang politik dan perasaan dari hakirn yang memutuskan perkara tersebut.
Aliran realisme hukurn pada prinsipnya me.mberikan beberapa tesis sebagai berikut:
1. Tesis Pertama
Aturan hukurn yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan hakirn karena masing-masing fakta hukum dalarn masing-masing kasus yang bersangkutan bersifat unik.
2. Tesis Kedua
Karena itu, dalarn memutus perkara, hakirn membuat hukum yang baru.
3. Tesis Ketiga
Putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral d.ari hakim itu sendiri, bukan bbrdasarkan pertimbangan hukum.

Karena masuknya ilmu-ilmu positif ke dalam bidang hukum menjadikan hukum seperti kerangka-kerangka yang mati dan tidak berjiwa, maka keadilan yang sebenarnya merupakan tujuan utama bagi hukum, semakin jauh dan kenyataan. Unsur-unsur antropologis sama sekali diabaikan. Nilai-nilai, termasuk nilai keadilan, kebenaran, perlindungan, rasa sayang, empati, dan. lain-lain tidak pernah lagi dipertimbangkan oleh hukum. Hakim dipaksa menjadi semacam robot-robot. Dari sini timbul gagasan untuk menggantikan hakim dengan mesin-mesin komputer saja.

D. Kritik Terhadap Realisme Hukum
Sebagai sebuah aliran yang menjelajahi sampai ke dunia filsafat, adalah wajar jika terhadap aliran realisme hukum terjadi perbedaan pendapat dan kritikan-kritikan. Bahkan, pada awal-awal kelahirannya, tentang konsep – konsep dari aliran ini sempat menjadi perdebatan yang terbilang sengit di antara para ahli hukum. Sekitar tahun 1931, bahkah terjadi perdebatan yang cukup seru di antara para ahli hukurn kala itu, khususnya antara Roscoe Pound, Karl Llewellyn, dan Jorerne Frank. Polemik tersebut sangat membekas dan terus berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari aliran realisme hukurn ini.
Kritik terhadap aliran realisme hukum juga diajukan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan pandangannya tentang proses judisial. Dalam hal ini kritik diajukan terhadap statement yang normatif dan terhadap konsep “logic”, sedangkan terhadap penekanan kaum realis hanya terhadap kasus-kasus yang susah saja.
Mengenai logika hukum, kaum realisme hukum dikritik bahwa kaum realisme hukum tersebut, terutama Joreme Frank, gagal melihat bahwa logika bukan alat untuk menemukan sesuatu, melainkan lebih merupakan suatu demonstrasi, di mana dari premise yang tetap dapat ditarik kesimpulan tertentu dengan alasan yang logis. Sebagaimana diketahui bahwa kaum realisme hukum memang menentang penarikan kesimpulan hukum dengan menggunakan logika melalui silogisme. Akan tetapi, sebenarnya kaum realisme hukurn sudah membedakan antara alasan (reason) untuk suatu pendapat (opinion) dan logika (logic) untuk mengambil suatu keputusan hukum..

BAB IV
Critical Legal Studies :
Latar Belakang dan Perkembangan

A. Latar Belakang Lahirnya Critical Legal Studies
Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu., semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut. Maka, aliran critical legal studies datang pada saat yang tepat dengan menawarkan diri sebagai pengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin – doktrin baru dalarn hukum kontemporer.
Aliran critical legal studies mengritik aliran-aliran hukum yang sedang berkembang saat itu yang diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern dalarn hukum. Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut memiliki -karakteristik yang liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku pada umumnya di bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam bidang hukum, aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran critical legal studies tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme hukum.

B. Critical Legal Studies Sebagai Tanggapan Terhadap Ketidakberdayaan Hukum
Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya memunculkan suatu aliran baru dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies). Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya. sejarah.
Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).

C. Critical Legal Studies, Formalisme, dan Pluralisme Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa aliran critical legal studies merupakan reaksi terhadap aliran-aliran hukum sebelumnya, di mana aliran hukum sebelumnya tersebut sangat berpegang pada. paradigma bahwa hukum terpisah dengan faktor politik dan moral, dengan mengagung-agungkan manusia sebagai pernegang hak individual dan penyandang kewajiban hukum, dan dengan mengabaikan hubungan politik dan sosial di antara para anggota masyarakat.
Di samping itu, menurut paham formalisme hukum, hukum bersifat imperatif, karena hukum tersebut dibuat oleh negara. dan alat-alat pelengkapan negara bertugas untuk menjalankan hukum tersebut. Pemerintah bersama~sama dengan DPR mempunyai otoritas untuk membuat undang-undang, yang akan diterapkan oleh hakim di pengadilan. Pemikiran seperti ini membawa akibat bahwa validitas hukum tidak lagi dilihat pada aspek substantifnya. Yang dilihat hanyalah faktor formalnya, seperti keabasahan prosedur pembuatan dan penerapan hukum, kewenangan pejabat pembuat dan penerap hukum, dan lain-lain.

D. Critical Legal Studies dan Sejarah Hukum
Aliran critical legal studies juga banyak memberikan pandangannya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum.
Selanjutnya, kaum critical legal studies juga. Tidak percaya pada pandangan kaurn adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang deskriptif maupun terhadap pandangannya yang normatif. Pandangan yang deskriptif dari kaurn adaptationism menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya berisikan suatu daftar dari tema-tema umurn saja, sedangkan pandangannya yang normatif menyatakan bahwa. masa kini merupakan perbaikan yang terus-menerus terhadap masa lalu sehingga. apa yang terjadi masa kini harus disambut dengan baik.
Sebenarnya, yang pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah mazhab frankfurt, yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social Research dari University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana berhaluan kiri. Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak begitu jelas batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di kembangkan antara lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk teori-teori sebagai berikut: Teori marxist dari Frankfurt School, Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan Roland Barthes, Teori psychoanalythic dari Jacquest Lacan, Critical legal studies dari Roberto Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori gender, Teori kultural, Teori critical race, Teori radical criminology.

E.. Critical Race Theory ( Race – Crits )
Sebagaimana diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan critical legal studies ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin, Medison, dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran critical legal studies, yaitu aliran critical feminist jurisprudence dan aliran critical race theory.

F. Respons dari Kaum Ortodoks Terhadap Critical Legal Studies
Sebagai suatu ajaran dalarm filsafat, sudah barang tentu aliran critical legal studies ini mendapat resp6ns dan kritik dari berbagai sudut pandang. Di antara respons yang penting terhadap aliran critical legal studies tersebut adalah responsns dari kaum ortodoks, yang merupakan para penganut dari aliran liberal dalam hukum. Pada pnn.sipnya, mereka mengritik aliran critical legal studies ini, baik dari segi indeterminasi dan legitimasi maupun dari hasil yang didapati. Mernang banyak ahli hukum menyatakan bahwa karena posisi yang diambil oleh aliran critical legal studies ini sangat ekstrem, dalam, banyak hal malahan overstated, menyebabkan mereka sangat mudah dikritik oleh pihak yang tidak menyetujuinya.

BAB VI
Critical Legal Studies Tentang
Kekuasaan dan Masyarakat

A. Peranan Hukum dalam Masyarakat

Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu, tentu saja, peranan hukum dalam’masyarakat yang teratur seharusnya cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapa kaeaunya masyarakat jika hukurn tidak berperan. Masyarakat tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah, sebagaimana pernah disetir oleh ahli pikir terkemuka, yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo Homini Lupus. Dan, yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan perkembangan alam akan tersisih dan dibiarkan tersisih, sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori seleksi alamnya (natural selection), di mana yang kuat yang akan survive (the fittest of survival). Karena itu, intervensi hukurn untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak), Dalam hal ini, hukum akan bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan manusia tersebut dijalankan sehingga tidak menggilas orang’lain yang tidak punya kekuasaan.


BAB VII
Critical Legal Studies Menurut Roberto Unger

A. Kritik Terhadap Paham Formalisme dan Objektivisme
Ketika paham formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum apa yang mereka lakukan hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian, apa yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah semacam permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak manusia dan masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan menggunakan analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum yang cerdas dengan mudah dapat membantah keputusan hukum.
Roberto Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaurn critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, ~sebenarnya juga dalam rarigka mempertahankan ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga dalarn rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat (Roberto Unger, .1986: 11).

B. Konsep – Konsep dari Aliran Critical Legal Studies
Telaahan dari para penganut aliran critical legal studies terhadap hukum juga ikut membicarakan antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen konstruktif mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan pelaksanaan doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide, yang selalu dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai bentuk eksperimen kolektif. Para penganut aliran critical legal studies menganalisis dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn yang ada yang mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi penuh, dengan hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul argumentasi alternatif yang bersifat persuasif.
Para pengritik memperbedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga mereka sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai suatu putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat memperjelas duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan dalam hidup adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Para pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif, akan sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk mensakralkan setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.

C. Program – program Institusional dari Aliran Critical Legal Studies
Para penganut aliran critical legal studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan hegara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.