Senin, 06 Juni 2011

TEORI HUKUM

BAB I
PENDAHULAUN


Masyarakat diajak untuk memasuki dromologi berpikir, yang aktualisasinya muncul melalui kritik, pembalikan pemikiran, bahkan penghancuran (dekonstruksi). pada pembahasan pertama dalam makalah ini, penulis ingin mencoba menjelaskan tentang Teori Hukum, apa dan bagaimana hubungannya dengan Dogmatik Hukum dan Filsafat Hukum.
Pada pembahasan kedua dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang pokok-pokok pembahasan teori hukum murni, yang terdiri atas pengertian Teori Hukum Murni Hans Kelsen, serta perdebatan mengenai Teori ini di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut the pure theory of law mendapat tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mazhab hukum alam dan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai jalan tengah dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Pada bagian ketiga dari makalah ini, penulis menjelaskan tentang perdebatan para ahli hukum seputar Struktur hukum, substansi hukum, dan Budaya Hukum, sebagaimana di kemukakan oleh L. Friedman, serta relevansi teori hukum ini pada tananan hukum di Indonesia. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), budaya hukum (legal culture)
Pada bagian keempat dari makalah ini, penulis menjelaskan perdebatan seputar Teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet dan Zelnick, serta perkembangannya apakah relevan dengan konteks di Indonesia. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Zelnick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Dan pada bagian kelima atau bagian terakhir dari makalah ini, penulis ingin menjelaskan tentang perkembangan Teori hukum Progresif di Indonesia sebagaiman dicetuskan oleh Sartjipto Raharjo. Hukum Progresif lahir di Indonesia akibat gagalnya reformasi yang terjadi di Indonesia dimana hal ini dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia.





















BAB II
PEMBAHASAN

A. TEORI HUKUM
a. Pengertian Teori Hukum
Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Teori hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan ajaran hukum umum. Perkembangan definitif dari teori hukum menjadi sebuah disiplin pada paruh waktu kedua dari abad duapuluh diinspirasi oleh timbulnya ilmu ilmu baru atau cabang-cabang dari ilmu yang sudah ada, seperti informatika, logika deontik, kibernetika, sosiologi hukum, Etiologi (hukum) dan sejenisnya.
Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Menurut Bruggink, definisi di atas memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yakni seluruh pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil dari kegiatan teoritik bidang hukum. Dalam arti proses, yaitu kegiatan teoritik tentang hukum atau pada dapat mengandung makna ganda lainnya, yaitu teori hukum dalam arti luas dan teori hukum dalam arti sempit. Dalam arti luas, berarti menunjuk kepada pemahaman tentang sifat berbgai bagian(cabang sub-disiplin) teori hukum, yaitu sosiologi hukum, berbicara tentang keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dari hukum. Teori hukum dalam arti sempit, berbicara tentang keberlakuan formal atau keberlakuan normatif dari hukum. Filsafat hukum berbicara tentang keberlakuan evaluatif dari hukum, terakhir adalah dogmatik hukum, atau ilmu hukum dalam arti sempit. Terhadap keempat kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri.

Disamping mengandung makna ganda diatas, teori hukum menurut Bruggink kajian diatas itu Bruggink menjelaskan bahwa teori hukum dalam arti luas itu terdiri atas bagian bagian apa saja, adalah masalah sulit sebab setiap penulis mengajukan pembagian sendiri dengan menggunakan definisi yang sesuai dengannya.
b. Hubungan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum
Sebelum saya berbicara jauh atau melangkah jauh dalam membahas hubungan dogmatik hukum dan teori hukum, maka ada baiknya kita mengenal lebih dulu apa yang dimaksud dengan Dogmatik Hukum. Dogmatik hukum (rechtsleer) atau Dogmatik hukum (rechtdogmatiek), juga sering disebut sebagai ilmu hukum (rechtswetenschap), dalam arti sempit bertujuan untuk memaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku. Walaupun demikian dogmatik hukum itu bukanlah ilmu netral yang bebas nilai. Sehingga jika cermati hubungan dogmatik hukum dengan teori hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana dibawah ini :
a. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
b. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum
c. Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasidan sejenisnya lagi.

c. Hubungan Filsafat hukum dan teori hukum
Sebelum saya membahas lebih jauh tentang hubungan filsafat hukum dan teori hukum, maka saya ingin menjelaskan sedikit tentang pengertian daripada Filsafat Hukum. Filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan yang palingdalam dibahas dalam hubungannya dengan landasan, struktur, dan sejenisnya dari kenyataan. Menururt Jan Gijssels dan Mark van Hoecke filsafat hukum memiliki telaah sebagai berikut :
a. Ontologi hukum, penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral
b. Aksiologi hukum, penentuan isi dan nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan lain-lain.
c. Idiologi hukum (ajaran idea)
d. Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan), bentuk metafilsafat
e. Teleologi Hukum, hal menetukan makna dan tujuan hukum
f. Ajaran ilmu dari hukum, meta teori dari ilmu hukum
g. Logika hukum.
Hubungan Filsafat Hukum dan Teori hukum
a. Jika Teori Hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan dogmatik hukum, maka Filsafat Hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-displin berkenaan dengan Teori Hukum.
b. Secara struktural Teori Hukum terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatik Hukum, terhadap Teori Hukum.
c. Filsafat Hukum merupakan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
d. Filsafat Hukum sebagai ajaran nilai dari Teori hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran ilmu dari Teori Hukum.
e. Filsafat Hukum sebagai ajaran ilmu dari teori Hukum dan sebagai ajaran pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh, mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dan Teori Hukum itu sendiri sebagai objek studi.
Dari hal di atas dapatlah disimpulkan bahwa hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-displin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek(teori hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya teori hukum itu rasional (atau tidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria umum, yang diterima setiap orang.
B. POKOK POKOK PEMBAHASAN TEORI HUKUM MURNI HANS KELSEN
a. Perkembangan Pemikiran Hans kelsen
Jika dilihat dari karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran yang dikemukakan meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasioanl. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten dan dikembangkan secara konsisten secara logika hukum formal. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu hukum statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Dari asal usulnya, teori hukum murni merupakan suatu bentuk pemberontakan yang ditujukan terhadap Ilmu Hukum yang Ideologis, yaitu ajaran yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan suatu rezim dari Negaranegara totaliter. Teori ini hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Bagian lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm. Kecuali berfungsi sebagai dasar juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada didalam kawasan rejim grundnorm tersebut harus mengait kepadanya, oleh karena itu bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan huikum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Friedman mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikran Kelsen sebagai berikut :
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukanilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yng spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut the pure theory of law mendapat tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mazhab hukum alam dan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai jalan tengah dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya. Fokus utama teori hukum, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci.
Menurut Kelsen, Hukum adalah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Norma tersebut memeliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Disisi lain berbeda dengan mazhab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah paksanaan.
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. 42 Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, Jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.teori tertentu yang dikembangkan ole kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang yang dapat menggambarkan komunitas hukum. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum adalah norma hukum (legal norm) elemen-elemen, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural.the pure theory of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari ruang lingkup kajian hukum.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
b. Penerapan Teori Hukum Murni Hans kelsen di Indonesia
Dengan masuknya kekuasaan Eropa ke Indonesia, masuk pulalah perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika orang-orang Indonesia diberi kesempatan untuk belajar/menempuh pendidikan di Eropa. Mahasiswa Indonesia yang membentuk Perhimpunan Indonesia (Indische Vereniging) berkenalan dengan elemen-elemen ideologi Aufklarung sebagai suatu ideologi sekuler yang terkait erat dengan perkembangan Rasionalisme, Empirisme, Idealisme dan Posistivisme. Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak azasi, kemerdekaan, persamaan, demokrasi, republik, konstitusi, hukum, negara, dan masyarakat. Pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Hobbes, Rousseeua, Voltaire, Imanuel Kant, Hans Kelsen, Hegel, Adam Smith dan Karl Marx mulai diketahui. Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, dan Marxisme juga telah dialami.

Ajaran hukum Hans Kelsen terdiri dari dua konsep.

1. Ajaran hukum murni (Reine Rechtlehre)
Bahwa hukum itu harus dipisahkan dari sosiologis, moral, politis, historis, dan sebagainya. Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Baginya tidak mempersoalkan hukum itu dalam kenyataannya, tetapi mempersoalkan apa hukumnya. Bahkan dalam ajaran hukum murni ini menolak keadilan dijadikan pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Hans Kelsen keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-irasional.
2. Stufenbau Thery
Ajaran ini pada mulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl kemudian dipopulerkan oleh Hans Kelsen. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu norma semakin kongkrit sifatnya.

Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara. Teori Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undangundang dan selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku peraturan perundang-undangan tertulis. Bahkan peraturan, perundang-undangan yang tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di Indonesia.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembanga di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat instruktif.

C. TEORI HUKUM L. FRIEDMAN

a. Perdebatan Para Ahli Hukum seputar Substansi Hukum, Struktur Hukum, dan Budaya Hukum
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Struktur Hukum yang kemudian dikembangkan di Indonesia terdiri dari :
1. Kehakiman (Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman)
2. Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan)
3. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian RI)
4. Advokat (Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat)
Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya, hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur yang sistemik. Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana Undang-undangnya, apakah sudah perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.
Pembangunan hukum mrupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif, sebagai suatu tindakan politik, maka pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya. Dari para politisilah lahir berbagai macam undang-undang. Secara formal kelembagaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada dijantung utama pembentukan hukum. Dari mereka inilah ide-ide sosial, ekonomi politik dibentuk dan atau diformulasikan secara normatif menjadi kaedah hukum.
Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Secondary rules yang dikonsepkan H.A.L Hart esensinya sama yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal hal yang berada diluar norma hukum positif model hart, memainkan peranan yang amat menetukan bagi kapasitas hukum positif. Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupaka panduan nilai dan orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja ada cacatcelahnya.perilaku orang selalu tidak sejalan dengan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya sangat beragam, salah satunya adalah norma-norma itu tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.
Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncankan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula dperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi. Sikap politik yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja, kesetaraan antar lembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia (HAM) yang meliputi hak sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji substansi RUU atau UU yang akan dibentuk.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
Aspek kultural menurut Friedman melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya.
Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalakan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jala pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum.

D. TEORI HUKUM RESPONSIF
a. Sejarah Pemikiran Teori Responsif
Lahirnya teori hukum ini dilatararbelakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyagunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup untuk mengatasi keadaan tersebut. Di tengah rangkaian kritik atas realitas krisis otooritas hukum itulah, Nonet-Zelnick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif (berorientasikan tujuan), sepertinya Roscou Pound, para penganut paham realisme hukum dan kritikus-kritikus kontemporer.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Zelnick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). diantara ketiga tipe tersebut, Nonet dan Zelnick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan terteb kelembagaan yang langgeng dan stabil. Nonet dan Zelnick lewat hukum Responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi sosial. Menyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sosiological juurisprudence dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut pada intinya menyatakan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasaan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Apa yang dipikrkan oleh Nonet dan Zelnick, menurut Prof. Satjipto Raharjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analitical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di pihak lain. Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.
Apa yang dikatakan Nonet dan Zelnick itu, sebetulnya ingin mengkritik model analitical jurisprudence atau rechtdogmatic yang hanya berkutat di dalam sisten aturan hukum positif. Model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum responsif sebaliknya pemahaman mengenai hukum melapaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Analitical yurisprudence berkutat didalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analistis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis, teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum tidak hanya rules (logic&rules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat langsung dalam proses penegakan hukum, mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat untuk bisa membebaskan diri dari belenggu hukum murni yang kakuh dan analistis. Produk hukum yang berkarekter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partsipasi semua elemen masyarakat, baik ari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M. Schur, sekalipun hukum itu nampak sebagai perangkat norma-norma hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses sosial, sebab hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula.
Menurut catatan Nonet dan Zelnick masa dua puluh tahun terakhir merupakan masa bangkitnya kembalai ketertarikan persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, paradilan, penyelenggara keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan ini mereflesikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial berlaku pula unutk analisis atas institusi hukum maupun semangat pembaharuan.
Dalam konteks itulah, hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekedar bidang akademik yang dpahami oleh hanya segelintir orang. Teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan atau perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet dan Zelnick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial. Teori Pound mengenai keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif itu.
b. Teori Hukum Responsif Dalam Konteks Hukum di Indonesia
Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan lebih dari satu dekade hukum responsif masih dalam proses. Membutuhkan waktu lama agar hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenar- benarnya sehingga demokrasi yang hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang- undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer.
Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang sesungguhnya karena krisis hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi massa sudah sangat sulit dikendalikan baik dengan cara yang represif ataupun responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde baru terkekang dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak. Adalah hal yang wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan, karena banyak yang kecewa dengan rezim yang sebelumnya. Setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendiri-sendiri yang pada intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran sehingga sangat mungkin akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintahpun juga belum mampu mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif.
Cita-cita reformasi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani selalu mengalami kendala baik dari dalam ataupun dari luar. Dapat kita lihat intervensi asing dalam dunia usaha di Indonesia begitu mendominasi, sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-undang, Perpu, Perda dan produk hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing. Karena pemerintah belum berani meninggalkan campur tangan asing, mungkin rasa ketergantunagn tersebut sudah terlanjur mendalam.
Reformasi di negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang mengatakan lebih parah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo : “Rupanya reformasi sudah mulai menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai akar rumput, tetapi didibaratkan akuarium. Maka pasir dan kotoran ikut terobok-obok sampai ke permuakaan. Akuarium menjadi keruh”. Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar adanya bahwa saat ini Negara kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan satu decade namun kondisi bangsa kita malah jauh lebih buruk dari sebelemunya (masa orde baru). Bukan pada hal-hal yang sifatnya umum (general) saja yang mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya urgen seperti ideology, produk hukum berserta aparat penegaknya ataupun lembaga Negara baik ekskutif, yudikatif ataupun legeslatif juga sudah amburadul, inilah yang mungin disbutkan Satjipto Rahardjo sebagai akuarium.
Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin memprihatinkan, seolah-olah hukum hanya berpihak pada mereka-mereka yang berkompeten di dalamnya, termasuk pihak swasta sebagai pengusaha yang notabe-nya telah dikuasai pihak asing, yang juga ikut dalam pembuatan produk hukum tersebut. Yang terjadi saat ini adalah kekerasan dan premanisme di mana-mana, hal ini terjadi karena kekuasaan dikendalikan oleh para intelektual-intelektual semu yang berkultur preman dan sebenarnya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi penguasa. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir orang di sekitarnya.
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa saat ini yang harus dilakukan untuk membantu terwujudnya reformasi salah satunya adalah memunculkan atau mengangkat orang-orang baik yang memiliki mentalitas dan kualitas yang terpuji. Seberanya mereka pernah menjadi bagian dari penguasa, namun mereka tersisih karena mereka tidak bisa bermain menurut kultur preman yang dimiliki oleh punguasa kita saat ini. Masih banyak orang-orang baik di negera kita, oleh jarena itu marilah kita bersatu memunculkan dan mengangkat mereka dan menolak massa permanisme. Mudah-mudahan dengan munculnya mereka ke pemerintahan yang berbekal mentalitas dan kualitas yang terpuji dapat membawa kebangkitan kembali Indonesia.
E. TEORI HUKUM PROGRESIF
a. Sejarah Pemikiran Hukum Progresif
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas.
Dalam diskursus pemikiran hukum di Indonesia, label tentang "hukum progresif" sudah sangat sering terdengar. Salah satu faktor dari cepatnya penyebaran gaung tersebut tidak lain karena memang eksponen utamanya, yakni Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., adalah seorang kolumnis yang sangat produktif. Produktivitas Pak Tjip (demikian panggilan akrab untuk beliau), tampaknya berangkat dari motto hidupnya sebagai intelektual, yakni seorang intelektual adalah orang yang berpikir dengan tangannya. Faktor lain yang mempopulerkan hukum progresif adalah munculnya sekelompok orang-orang muda yang "tergoda" dengan corak berpikir di luar arus utama (mainstream) seperti diajukan Pak Tjip. Berkat semangat dan bantuan orang-orang muda inilah karya-karya lama Pak Tjip itu dapat dikompilasi dan dikemas ulang untuk kemudian disajikan kembali kepada para pemerhati dan pegiat hukum di Tanah Air.
Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebut pemikiran hukum progresif , yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu. Proses pemaknaan itu digambarkannya sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bangunnya sebuah teori, yang dalam terrminologi kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatik”
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.
Menurut Pak Tjip, semua aspek yang berhubungan dengan hukum progresif dapat dipadatkan ke dalam konsep progresivisme. Ada beberapa kata kunci yang layak untuk diperhatikan tatkala kita ingin mengangkat pengertian progresivisme itu. Kata-kata kunci tersebut dapat pula ditempatkan sebagai postulat yang melekat pada pemikiran hukum progresif. Kata-kata kunci tersebut antara lain adalah:

1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya. Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksapaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.
2. Hukum progresif itu harus pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada rakyat. Keadilan harus didudukkan di atas peraturan. Para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan teks peraturan (diistilahkan sebagai "mobilisasi hukum" jika memang teks itu mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat dan pro-keadilan ini merupakan ukuran-ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal negatif lainnya.
3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan.
4. Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making). Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya mengabdi kepada manusia. Ia terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap putusan bersifat terminal menuju kepada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak pernah bisa meminggirkan sama sekali kekuatankekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibannya sendiri. Kekuatankekuatan tersebut akan selalu ada, sekalipun dalam bentuk terpendam (laten). Pada saat-saat tertentu ia akan muncul dan mengambil alih pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum negara. Maka, sebaiknya memang hukum itu dibiarkan mengalir saja.
5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum terletak pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut. Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff), sistem hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia atau perilaku manusia. Di tangan perilaku buru, sistem hukum akan menjadi rusak, tetapi tidak di tangan orangorang dengan perilaku baik.
6. Hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe responsif, hukum akan
selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, yang disebut oleh Nonet dan Selznick sebagai "the souverignity of purpose". Pendapat ini sekaligus mengritik doktrin due process of law. Tipe responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat.
7. Hukum progersif membangun negara hukum yang berhatinurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur, "the cultural primacy." Kultur yang dimaksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila kita tidak berkutat pada "the legal structure of the state" melainkan harus lebih mengutamakan "a state with conscience". Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbunyi: "bernegara hukum untuk apa?" dan dijawab dengan: "bernegara untuk membahagiakan rakyat."


8. Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum progresif menolak sikap status quo dan submisif. Sikap status quo menyebabkan kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk kepada maksim "rakyat untuk hukum".
Hukum progresif menganggap bahwa keadilan tidak hanya di pengadilan,tapi ada dimana-mana,dan itu kelebihan utama dari pemikiran hukum progresif. Anggapan ini bisa menjerumuskan jika diartikan secara artifisial dan tidak bertanggung jawab,sebab pemberian diskresi yang berlebihan akan menyebabkan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai kontrol sosial. Hukum tidak dapat lagi mengatur masyarakat karena penafsiran yang bebas terhadap keadilan, maka jadilah suatu struktur sosial kembali pada hukum rimba, siapa kuat dia yang menang karena aturan bersifat fleksibel.
Penegakan hukum berdasarkan perubahan dalam masyarakat juga bisa berakibat pada sulitnya keteraturan itu diciptakan, sebab masyarakat selain mempunyai sifat selalu berubah juga terbentuk dari banyak identitas dan unsur serta bersifat majemuk tentang pemahaman keadilan. Kondisi ini akan melahirkan hukum yang bisa mengakibatkan ketimpangan, juga karena hukum berlaku adalah kehendak mayoritas, maka akan terjadi diskriminasi terhadap kelompok minoritas.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. hubungan dogmatik hukum dengan teori hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana dibawah ini :
a. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
b. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum.
c. Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasidan sejenisnya lagi.
Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-displin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek(teori hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah.
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Hukum tidak hanya rules (logic&rules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial.
Hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik
Salah satu dari sekian banyak ide Sartjipto Raharjo adalah tentang hukum adalah apa yang disebut pemikiran hukum progresif , yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu.
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh hakim.
























DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arinanto Satya , Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008
Assiddiqie Jimly &M Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum Sekretariat Jenderal & kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Ayyub Andi Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006
Dimyati Khudzaifah , Teorisasi Hukum, Muhamadiyah Press, Surakarta, 2004
Friedman L, Teori dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi Teori-Teori Hukum (susunann I), judul asli Legal Theory, penerjemah: Mohammad Arifin, Cetakan kedua, (Jakarta,PT Raja Grafindo Persada 1993)
Friedman Lawrence M, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc
Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang‐undangan; Dasar‐Dasar dan Pembentukannya, Sekretariat KIH – UI, Jakarta, 1996, hal. 28. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell, 1945

Nonet Philippe & Philip Zelnick, Law and Society in Transition:Toward Tanggapanive Law, London:Harper and Row Publisher, 1978
Pound Roscoe , 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Jakar-ta: Bhratara, hal. 51. Mochtar
Rahardjo Satjipto , Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, Makalah pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN, Jakarta
Raharjo Satjipto , hukum progresif (penjelajak suatu gagasan) makalah disamapaikan pada acara jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semaraang, tanggal 4 september 2004
Raharjo Sartjipto , Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980.
Rahardjo Satjipto dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Surabaya: Kita, 2006)
Rahardjo Satjipto , Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009)
Rahardjo Satjipto , Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006)
Rahardjo Satjipto , Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007)
Rahardjo Satjipto , Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009)
Rahardjo Satjipto , Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009
Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths
Rahardjo Satjipto , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cet.6
Salman Otje S &Anton Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali) PT Rafika Aditama, Bandung, 2010
Artikel
Artikel Utama, Jurnal Keadilan,Vol. 2 No. 1 Tahun 2002
Internet
www.setneg.go.id arah pemikiranpembangunan hukum pasca Perubahan UUD 1945



ANALISIS YURIDIS NORMATIF DALAM KETENTUAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME (Ditinjau dari pasal 9 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di zaman modern sekarang ini, Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang menyangkut masalah sosial, adalah luas sekali, dan semakin tinggi peradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka akan berakibat pada akses-akses yang negatif. Akses-akses negatif dari suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang disalahgunakan, yang dimana dapat menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian baik materil maupun inmaterial yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat.
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum maka hukum harus ditegakkan.
Pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia didasarkan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang diarahkan agar dapat menciptakan kondisi yang lebih baik, sehingga masyarakat dapat menikmati suasana tertib dan adanya kepastian hukum yang berintikan keadilan. Peraturan pokok hukum pidana yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 junto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan KUHP untuk seluruh Indonesia.
Dalam penerapan hukum pidana hakim terikat pada asas legalitas yang dicantumkan pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan: ”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Ketentuan pidana harus di tetapkan dalam Undang-undang, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang, selanjutnya ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat di kenakan kepada perbuatan yang telah di lakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan yang berarti , bahwa undang-undang tidak berlaku surut (mundur) Nullum delictum sine pravia lege poenali.
Menurut E. Utrecht, Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung pengertian bahwa hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan perundangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila terlebih dahulu tidak diadakan peraturan perundangan yang memuat hukuman yang dapat dijatuhkan atas penjahat atau pelanggar, maka perbuatan yang bersangkutan bukan perbuatan yang dapat dikenai hukuman.
Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi tidak akan berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidana ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dengan pemerintah. Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku yang menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat. Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika dalam kehidupan, diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana.
Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka menyejahterakan masyarakat, maka tindakan untuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih luas. Dari berbagai macam hukum pidana yang terjadi di negara ini, salah satunya adalah hukuman mati. Sebenarnya tujuan dari hukuman mati itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran berat. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati.
Pada dekade terakhir ini beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman hukuman maksimal, seperti pada Pasal 36, dan 37 Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Azasi Manusia (HAM), ataupun ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hukuman mati mempunyai sejarah yang lama dalam masyarakat, dan pernah berlaku dihampir semua masyarakat. Sebagai ilustrasi, dahulu hukuman mati dipandang relevan, sah dan dilakukan secara terbuka di depan umum, dengan cara dipancung, dibakar, atau bahkan disiksa hingga mati. Di hampir seluruh dunia, hukuman mati dilakukan untuk kejahatan-kejahatan subversif berupa penghinaan terhadap Raja atau Pimpinan Agama, kejahatan perang dan pemberontakan, kriminalitas yang disertai dengan kekejaman, dan lain-lain.
Pada masyarakat tradisional dibeberapa suku yang ada di Indonesia, juga melaksanakan pidana mati dengan beberapa cara diantaranya; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lain lain. Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang.
Akan tetapi sangat kontras bila melihat semangat dalam konsitusi kita yang berusaha untuk menjamin dan menjunjung tinggi hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati.
Dalam perkembangan terakhir, keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. Gugatan ini terkait dengan pandangan “Hukum Kodrat” yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat.
Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia manapun meski atas nama Tuhan sekalipun. Hak Asasi Manusia juga di artikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan di lindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 Undang-undang No 39 Tentang HAM)
Keberadaan penerapan eksekusi terpidana mati di dalam hukum positif di Indonesia dilihat dari sejarah dan perkembangannya telah menimbulkan berbagai kontroversi yang mengalami pasang surut sesuai perkembangan budaya, adat, dan teknologi modern dalam ruang lingkup globalisasi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Indonesia dan Amerika merupakan Negara yang menyuarakan serta menegakan HAM, akan tetapi masih menerapkan hukuman mati. Contoh Kasus, Amrozi dan kawan-kawan dijatuhi hukuman mati terkait peristiwa Bom Bali I. Terpidana menginginkan penerapan eksekusi mati terhadapnya dilakukan dengan cara di pancung berdasarkan Syariat Islam. Berdasarkan Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer pidana mati dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.











































BAB II
PEMBAHASAN


A. Analisis terhadap pengeboman Bali I sebagai suatu Tindak Pidana Terorisme
1. Cara Pelaku Melakukan Tindak Pidana Terorisme
Di setiap Negara tidak dapat lepas dari tindakan-tindakan melanggar hukum baik secara pidana maupun perdata. Namun yang menjadi keresahan masyarakat adalah maraknya tindakan pidana. Tindakan yang dapat mengganggu kepentingan orang lain ini dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Bahkan tindakan ini dapat menghilangkan nyawa orang lain dan mengancam stabilitas Negara.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia dikejutkan dengan maraknya kasus bom yang terjadi di restoran, hotel, bahkan kedutaan besar pun tak luput dari serangan bom. Hal ini dikategorikan sebagai kasus pidana terorisme dan mulai menjadi trademark bagi Indonesia sebagai Negara teroris. Dengan dalih menjalankan syariat Islam, teror demi teror dilakukan.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai September Kelabu, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia yaitu menewaskan 202 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear ”
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia.
Studi yang di lakukan oleh Direktur Program Asia Tenggara di Internasional Crisis Group Sidney Jones mengungkapkan Jemaah Islamiyah (JI) adalah sebuah jaringan Islam radikal yang terbentang di kawasan Asia Tenggara serta di pimpin warga Negara Indonesia. Jaringan ini punya struktur longgar yang mempunyai cirri empat divisi teritorial yang di sebut mantiqi. Mantiqi ini meliputi wilayah yang luas mulai dari semenanjung Malaysia, Singapura, Indonesia hingga Australia.
Jemaah Islamiyah tampaknya beroperasi dengan menggunakan sistem sel dengan struktur organisasi yang khusus dan longgar. Para pemikir utamanya adalah pengikut almarhum Abdullah Sungkar, yang bernama Abu Bakar Ba’asyir. Sebagian besar dari mereka warga Negara Indonesia yang menetap di Malaysia, para veteran perang Afganistan serta alumni latihan militer di Afganistan pasca bubarnya Uni Soviet. Lapis keduanya adalah orang-orang yang memiliki sifat yang sama, mereka di tugaskan sebagai kordinator di lapangan, dan bertanggung jawab atas pengiriman uang dan bahan peledak, serta merekrut orang-orang setempat untuk di bawahinya selaku pemimpin tim dari para operator lapangan. Lapis yang di bawah yaitu orang-orang yang mengendarai mobil, mengintai sasaran, menempatkan bom. Merekalah yang paling sering menghadapi bahaya penangkapan, cedera fisik, atau kematian. Umumnya mereka dipilih beberapa saat sebelum serangan di lakukan. Kebanyakan orang-orang ini adalah pemuda dari pesantren atau madrasah.
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan.
Dalam membahas terorisme dan kekerasan, adalah penting untuk menyadari bahwa terorisme bukan hanya merupakan suatu bentuk kekerasan, tetapi ia juga merupakan metode dan misi politik yang menggunakan kekerasan. Para teroris memandang kekerasan tidak saja sebagai tujuan, melainkan sebagai cara menunjukan kekuatan dan ancaman terhadap seseorang atau kehidupan masyarakat. Penggunaan kekerasan juga merupakan cara yang efektif untuk menunjukan kekerasan pihak lain, musuh atau saingan yang menjadi bagian sasaran. Jika kekerasan menjadi tujuan, maka ia tidak lagi disebut terorisme. Banyak sekali tindak kekerasan, tetapi ia bukanlah kejahatan terorisme. Tetapi salah satu unsur utama dalam kejahatan terorisme adalah penggunaan kekerasan seperti dengan cara menggunakan atau meledakan bom.

2. Sasaran Tindak Pidana Terorisme
Dalam kasus Bom Bali I sasaran para pelaku tindak pidana terorisme adalah warga Negara asing yang tengah berlibur di Bali, ini terlihat dengan banyaknya jumlah korban meninggal akibat serangan Bom tersebut yang berasal dari Negara Asing, selain itu sasaran ditujukan kepada Fasilitas-fasilitas umum milik Pemerintah.
Para teroris biasanya memusatkan serangan pada bentuk tindakan yang spesifik yang bisa dialami oleh segmen publik yang sangat luas sebagai suatu ancaman pribadi kepada anggota masyarakat tersebut. Sifat serangan acak, dalam kaitannya dengan waktu dan tempat terjadinya, memperbesar ketakutan yang dirasakan oleh objek potensial suatu serangan. Sifat serangan demikian tentu saja menyulitkan aparat yang berwajib atau pihak keamanan untuk mengantisipasi dan menyiapkan strategi yang jitu terhadap kemungkinan waktu dan di tempat mana pelaku terorisme menjalankan aksi kriminalitasnya.
Kekerasan yang dilakukan hanya merupakan alat untuk mewujudkan atau mengimplementasikan misi, target atau tujuan. Suatu kegiatan besar dengan mengorbankan nyawa yang tidak sedikit dan menimbulkan problem ketakutan dalam masyarakat tentu punya target besar dan spesifik. Dari sudut bentuk kejahatannya yang sangat terorganisir menunjukan kalau ada misi yang hendak diwujudkan. Misi ini pulalah yang mendasari atau melatar belakangi kuatnya gerakan yang dibangun dan dilaksanakan oleh kaum teroris. Mereka punya motivasi kalau apa yang dilakukan nanti tidak akan berakhir sia-sia, ada keuntungan secara politik, ideologi yang diperjuangkan agama yang disakralkan serta hal lain yang didambakan.
1. Dampak dan Korban Tindak Pidana Terorisme
Dampak dari pada tragedi Bom Bali I tidak hanya pada 202 orang nyawa melayang tapi juga merusak 513 unit bangunan hotel, restoran, kafe, took, dan rumah tinggal rusak. Selain itu 22 mobil dan 24 sepeda motor hancur. Dari 513 unit bangunan yang rusak, sebanyak 36 bangunan rusak berat dengan kerugian materiil untuk bangunan dan kendaraan bermotor mencapai Rp. 7,2 miliar. Selain itu kerugian akibat kerusakan jalan dan trotoar mencapai Rp. 224 juta, sedangkan PLN Denpasar menderita kerugian senilai Rp. 144 juta, serta PT Telkom Denpasar mengklaim pihaknya rugi senilai Rp. 88 juta akibat rusaknya jaringan telekomunikasi akibat Bom.
Dampak Bom bali I tidak hanya menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana, dampak selanjutnya, kunjungan wisatawan ke bali dan tingkat hunian kamar hotel di Kuta anjlok drastis. Sebelum tragedi bom jumlah kunjungan wisatawan yang langsung ke bali setiap bulannya rata-rata tercacat sebanyak 153 ribu orang lebih. Namun setelah peledakan Bom tidak lebih dari 31 ribu wistawan. Penurunan jumlah kunjungan wisatawan tersebut membuat tingkat hunian kamar hotel merosot tajam. Jika sebelum kasus Bom tingkat hunian hotel mencapai 80 persen lebih setiap bulannya, kini hanya tinggal 10 hingga 15 persen saja. Kondisi tersebut tidak di pungkiri Kadis pariwisata kabupaten badung, I Gusti Ngurah Oka Darmawan. Dia mengatakan tidak hanya tingkat hunian kamar, multiplier efek dari Bom bali I sungguh sangat dashyat, beberapa artshop terpaksa tutup , restoran dan hotel sepi tamu, yang akhirnya bermuara pada peningkatan angka pengangguran. Bahkan Oka darwan menyebutkan Pemkab Badung terpaksa merivisi target pendapatan dari pajak hotel dan restoran dari Rp. 324 miliar menjadi hanya Rp. 100 miliar.
Melihat dampak kejahatan terorisme yang demikian mengerikan, pemerintah pun tidak diam begitu saja. Beberapa upaya dilakukan untuk mengatasi dan mengantisipasi kejahatan tersebut. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya instrumen hukum berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang penindakan kejahatan terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kedudukan korban tindak pidana dalam perkembangan sejarah hukum pidana, separuhnya menjadi hak korban. Hal ini merupakan akibat pelepasan dendam yang cenderung kejam dan tidak menyelesaikan masalah karena akan timbul pembuat semula berubah menjadi korban berikutnya, dengan demikian hampir tidak ada bedanya kedudukan korban dan pelaku tindak pidana (kejahatan).
Dalam perkembangan selanjutnya muncul bentuk lain, yaitu masyarakat harus diberi kesempatan untuk memintakan pertanggung jawaban dari pelaku yang telah mengganggu ketentraman masyarakat dan untuk menghindari kemungkinan adanya kesewenang wenangan bagi korban. Diperlukan jalan hukum melalui kompensasi dari pelaku untuk korban. Pemberian kompensasi untuk kepentingan korban dianggap sebagai restitusi (restitution) dan untuk kepentingan gangguan keamanan dalam masyarakat dianggap sebagi denda.
Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan. Kondisi ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tiadanya perlindungan hukum bagi korban dan tiadanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat luas. Proses peradilan pidana yang muaranya berupa putusan hakim di pengadilan sebagaimana terjadi saat ini, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan korban. Para pihak terkait antara lain jaksa penuntut umum, penasihat hukum tersangka atau terdakwa, saksi (korban) serta hakim dengan didukung alat bukti yang ada, cenderung berpumpun (focus) pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa.
Dalam pasal 36 Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diatur mengenai hak-hak korban tindak pidana terorisme, dimana korban atau ahli warisnya berhak mendapat kompensasi dan restitusi, pelaksanaan pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada menteri keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negri (pasal 38 ayat 1) dan untuk restitusi diajukan oleh korban atau ahli warisnya kepada pelaku atau pihak ketiga (pasal 38 ayat 2). Sedangkan control oleh badan peradilan terhadap pelaksanaan pemberian kompensasi dan restitusi apakah sudah dilaksanakan atau belum, serta bukti yang harus dipenuhi diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini. pasal 40 yang berbunyi; (1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut. (2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya. (3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. Dan 41 yang berbunyi; (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Dalam hal diancamkannya pidana mati terhadap tindak pidana terorisme sesungguhnya hal itu merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap kepentingan umum yang terancam oleh kejahatan terorisme. Kepentingan umum yang hendak dilindungi dari tindak pidana terorisme tentunya bukan hanya nyawa manusia saja karena lebih dari itu banyak dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh aksi terorisme ini misalnya dapat menimbulkan kehancuran fasilitas publik sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar seperti banyaknya gedung-gedung dan rumah-rumah penduduk yang hancur.
Terorisme juga dapat menyebabkan masyarakat merasa takut dan merasa tidak aman sehingga menimbulkan beban psikologis yang cukup menggangu bagi korban dan masyarakat secara umum. Terorisme dapat memporak-porandakan kepastian hidup sehari-hari dan mematikan kreativitas serta nilai-nilai yang memanusiawikan manusia. Lebih dari itu, tindak pidana tersebut juga sangat mempengaruhi stabilitas negara.
2. Latar Belakang dan Ideologi Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Para Pelaku Bom Bali I, mengaku bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk menegakkan kebenaran dan membela ajaran Islam. Hal ini jugalah yang menyebabkan wacana yang berkembang bahwa teroris dikaitkan dengan Islam. Penelitian Internasional Crisis Group mengungkapkan sebelum peristiwa serangan bom Bali I, motivasi di balik peledakan bom tampaknya mengarah pada pembalasan atas pembantaian terhadap umat Muslim oleh orang Kristen di Indonesia, yakni di Maluku, Maluku Utara, dan Poso (Sulawesi tengah) dimana pernah meletus konflik massal di tahun 1999 dan 2000.
Perang melawan terorisme yang dipimpin AS kini tampaknya menggantikan Maluku dan Poso sebagai objek kemarahan Jemaah Islamiah, apalagi setelah konflik disana mulai mereda. Orang-orang barat di Bali di jadikan sasaran baru serangan JI, peristiwa ini bisa jadi petunjuk adanya pergeseran serangan dari orang Kristen yang ada di Indonesia dengan orang barat yang ada di Bali.
Ketika mendengar kematian Dr. Azhari, Amrozi salah seorang pelaku Bom Bali I, merasa iri dan bersedih hati. Ternyata sahabatnya dari negeri jiran (Malaysia) itu bisa lebih dulu mendapat anugerah kesahidan daripada dirinya. Demikian juga dengan Ali Imron dan Mukhlas, bagi dia hukuman mati justru akan mempercepat pencapaian cita-citanya untuk mati sahid.
Pemikiran seperti yang di anut oleh ketiga terpidana mati inilah yang telah menggerakan aksi serangan Bom teroris di Indonesia selama kurang lebih satu dekade ini. Bagi mereka serangan bom ke tempat-tempat yang banyak di kunjungi orang-orang barat merupakan perwujudan perang suci terhadap orang-orang kafir dan pendukungnya yang mereka sebut Jihad. Kalau pun mereka harus mati dalam melaksanakan jihad, maka sebagai imbalannya mereka dijamin masuk surga.
Di dalam kepercayaan umat Islam sendiri, tidak sedikit yang mendukung pemikiran Amrozi Cs, namun tampaknya yang menentang lebih banyak lagi, mulai dari yang menganggap pemikiran Amrozi Cs bukanlah ajaran Islam sampai yang menganggapnya sebagai aliran bid’ah dan sesat.
Bagi Ustadz Zainal Abidin, Lc ajaran jihad yang di kembangkan Amrozi Cs adalah keliru. Ajaran agama apapun tidak membenarkan aksi terorisme, apalagi Islam agama yang mulia, rahmatan lil ‘alamin, mustahil membenarkan aksi terorisme dengan bom bunuh diri yang menelan banyak korban dan menimbulkan kerusakan serta kerugian yang tidak sedikit. Menurudnya jihat dalam Islam diatur dengan aturan Syariat, tidak seperti yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengatasnamakan dirinya jihad fisabililah dan menggelari pelakunya dengan As Sahid dengan membunuh orang-orang kafir.
Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi teroris dilatarbelakangi motif-motif tertentu. Seperti misalnya motif perang suci, motif ekonomi, balas dendam, dan motif-motif berdasarkan aliran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan merupakan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi, instrumen atau alat untuk mencapai tujuan.
Al- Ustad Abu Abdillah Muhammad Yahya juga menegaskan teror bukanlah bagian dari ajaran Islam. Pada seminar Rabithah Alam Islami yang diselenggarakan di Makkah atas prakarsa Raja Fahd bin Abdul Aziz.
3. Terpenuhinya Unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme
Salah satu pasal pokok tentang tindak pidana terorisme, dirumuskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang selengkapnya berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Secara rinci pasal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut berdasarkan unsur subjektif dan unsur objektifnya, yakni :
a. Unsur subjektif.
1. Setiap orang.
2. Dengan sengaja.
3. menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.
b. Unsur objektif.
1. merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
2. atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis
3. atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional


Istilah setiap orang dalam rumusan pasal di atas adalah orang perorangan, kelompok orang, baik sipil, militer maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi (Pasal 1 butir 2). “Setiap orang” disini adalah menunjukan kepada subyek hukum atau pelaku tindak pidana terorisme. Pelaku yang dapat melakukan tindak pidana terorisme dalam hal ini ada dua kemungkinan, orang dalam pengertian pribadi ataupun korporasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Para Terdakwa kasus Bom Bali I dalam persidangan telah membenarkan identitasnya sebagaimana yang tercantum dalam surat dakwaan. Sehingga unsur yang pertama ini sudah terpenuhi yakni dilakukan oleh orang.
Unsur kedua adalah dengan sengaja Satu hal yang harus dan perlu diketahui adalah, bahwa tindak pidana terorisme, khususnya terhadap rumusan Pasal 6 adalah merupakan delik dolus atau opzet, yaitu sebagai suatu tindakan kesengajaan bukan kealpaan, karena dengan tegas disebutkan, “setiap orang yang dengan sengaja.”
Unsur ketiga dari redaksi pasal di atas adalah “menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Yang di maksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan penyelahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 1 butir 4). Dari rumusan pengertian kekerasan ini ternyata kekerasan dalam tindak pidana terorisme dalam hal ini bisa dengan memakai sarana dan bisa juga tidak dengan memakai sarana, hanya dengan mengandalkan otot semata-mata, dengan sarana misalnya dengan menggunakan bom, senjata api ataupun senjata tajam. Sehingga bila di sinkronkan dengan kasus Bom Bali I maka unsur yang ketiga ini juga terpenuhi, yakni para pelaku menggunakan Bom untuk melancarkan aksinya.
Unsur penting dalam tindak pidana terorisme yang harus dibuktikan berikutnya adalah berkaitan dengan dua hal, yaitu objek penggunaan kekerasan dan dampak yang ditimbulkannya. Berkaitan dengan objek penggunaan sebagaimana bunyi pasal 6 yang menentukan bahwa objek harus ditujukan pada tempat-tempat vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasiona. Sehingga bila di sinkronkan dengan kasus Bom Bali I maka unsur ini juga terpenuhi. Unsur berikutnya untuk dapat dikatakan suatu kejahatan sebagai kejahatan terorisme adalah, dampak yang ditimbulkan, sebagaimana bunyi pasal 6 “menimbulkan teror atau rasa takut secara meluas”. Konsekuensinya adalah, walaupun bom diledakan pada lokasi fasilitas publik, tapi jika tidak menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dalam kehidupan masyarakat, maka tindakan itu tidak dapat digolongkan ke dalam klasifikasi sebagai tindak pidana terorisme.

Untuk dapat mengukur dampak yang menimbulkan susana teror atau rasa takut secara meluas itu, Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan adalah pada aktivitas ekonomi atau sosial. Apakah dengan terjadinya peledakan itu, aktivitas ekonomi atau kegiatan sosial masyarakat suatu wilayah menjadi lesu atau menurun atau terganggu. Dalam kaitannya dengan tindak pidana terorisme Bom Bali I dapat dikatakan sangat mempengaruhi aktifitas ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat di Bali, karena selain menimbulkan korban jiwa, juga akibat peristiwa Bom Bali I ini banyak fasilitas Umum yang Rusak seperti merusak 513 unit bangunan hotel, restoran, kafe, dan rumah tinggal rusak, PLN Denpasar menderita kerugian senilai Rp. 144 juta, serta PT Telkom Denpasar mengklaim pihaknya rugi senilai Rp. 88 juta akibat rusaknya jaringan telekomunikasi akibat Bom, sehingga memberikan dampak yang sangat besar dalam waktu cukup lama dan berkelanjutan pada kehidupan ekonomi masyarakat Bali. Dampak tragedi tidak hanya terasa dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang kesehatan, baik fisik maupun emosional.
Selama 2,5 tahun pasca tragedi bom Bali, tidak tampak adanya perbaikan dalam keadaan ekonomi rumah tangga di Bali. Pada periode ini, bahkan terjadi peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 3,5 persen, penurunan jumlah jam kerja 4,2 persen, penurunan upah riil 47 persen, dan pendapatan rumah tangga menurun 22,6 persen.
B. Analisa Terhadap Ketentuan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurud HAM
1. Hak Negara untuk Menghukum Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Isu dan kontroversi mengenai hukuman mati di Indonesia kembali menghangat, setelah masyarakat semakin menyadari betapa dashyatnya ancaman bahaya terorisme bagi stabilitas dan keamanan nasional. Hukuman mati akan terasa sangat berat bagi siapa pun. Pemberlakuan hukuman mati memang selalu mengundang kontroversi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun kontroversi ini terjadi pula di sejumlah negara Eropa yang telah membatalkan hukuman mati.
Hukum merupakan petunjuk mengenai tingkah laku dan juga sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban. Hukum dapat dianggap sebagai perangkat kerja sistem sosial yang melakukan tugasnya dengan menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengatur hubungan antarmanusia. Keadilan harus selalu dilibatkan dalam hubungan satu manusia dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial, interaksi antar manusia tidak dapat dimungkiri lagi.
Sementara itu penanganan terhadap aksi-aksi terorisme dengan pola menindakan hanya kalau sudah menjadi aksi teror, ini sama artinya pemerintah membiarkan jaringan di bawah tanah terus membangun sel-selnya di seluruh wilayah negeri ini, tanpa pemerintah mampu mendeteksi apalagi menindak. Hal ini terbukti sejak bom Bali II tahun 2005 hingga 2009 di Ritz Carlton & JW Marriot. Terungkapnya jaringan terorisme akibat ledakan di Ritz Carlton & JW Marriot tanggal 17 juli 2009 lalu telah membuat bangsa ini kembali berduka, dan memperingatkan bangsa ini bahwa tenyata jaringan terorisme sudah luas bahkan Polri mengakui ada nama-nama baru yang tergabung dalam jaringan Nurdin M.Top.
Tindakan yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana pidana terorisme Bom Bali I sangat merugikan dan membahayakan banyak orang. Tindakan tersebut telah melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, terutam pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang pada akhirnya oleh putusan pengadilan para pelaku dihukum mati.
Hukuman mati memang mengerikan. Dalam hukuman mati ini, manusia seolah-olah mengambil peran sebagai Tuhan, dengan menjadi penentu hidup atau mati seseorang. Setiap manusia sebenarnya memiliki hak untuk hidup, sehingga pemberlakuan hukuman mati oleh Pemerintah, banyak menimbulkan reaksi yang menentang.
Dalam mengatasi permasalahan terorisme, berbagai upaya dilakukan lembaga pemerintah untuk mempersempit ruang gerak serta mencegah dan menanggulangi gerakan terorisme dengan membentuk satuan-satuan anti teror dari Polisi Republik Indonesi (POLRI), namun hal ini dirasa masih belum mampu mengatasi bahkan hal ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat terhadap kinerja aparat yang dinilai selalu kecolongan atau lamban bahkan tidak memiliki kemampuan untuk mencegah dan mengungkap serta menghukum pelaku-pelaku teror.
Rangkaian tindakan terorisme di Indonesia telah menimbulkan kerugian yang cukup besar baik jiwa maupun harta, mengungkap dan mendeteksi secara dini aksi teroris yang memiliki jaringan terorisme Internasional sampai saat ini belum dapat dijangkau secara keseluruhan oleh lembaga dan aparat pemerintah di Indonesia.
Timbulnya terorisme dalam perspektif HAM jelas merupakan suatu pelanggaran yang sangat berat. Dalam kaitannya dengan kasus Bom Bali I, sebagai negara hukum upaya untuk menindak pelaku terorisme harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hukum nasional kita, ketentuan pidana mengenai terorisme diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2002 dan ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
2. Kewajiban Negara Untuk Melindungi Masyarakat
Tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Amrozi cs pada kasus bom Bali I sangatlah menarik perhatian masyarakat luas, tidak saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri, hal ini karena korban yang ditimbulkan akibat aksi pengeboman tersebut sangat banyak dan sebagian besar korban yang meninggal adalah warga negara asing.
Secara yuridis keberadaan pidana mati di Indonesia telah memperoleh landasan yang kuat, sebab diatur dalam KUHP pasal 10 (a) (1e) KUHP Jo. UU No.2 PNPS 1964 tentang pelaksanaan pidana mati dari gantung menjadi tembak. Bilamana pembuat undang-undang berketetapan untuk membuat suatu norma perilaku menjadi norma hukum untuk seluruhnya atau sebagian, maka yang sering terkandung dalam maksudnya adalah, antara lain untuk memberi ‘perlindungan’ kepada kepentingan umum.
Dalam hal diancamkannya pidana mati terhadap tindak pidana terorisme sesungguhnya hal itu merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap kepentingan umum yang terancam oleh kejahatan terorisme. Kepentingan umum yang hendak dilindungi dari tindak pidana terorisme tentunya bukan hanya nyawa manusia saja karena lebih dari itu banyak dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh aksi terorisme ini misalnya dapat menimbulkan kehancuran fasilitas publik sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat dan negara.
Terorisme juga dapat menyebabkan masyarakat merasa takut dan merasa tidak aman sehingga menimbulkan beban psikologis yang cukup menggangu. Terorisme dapat memporak-porandakan kepastian hidup sehari-hari dan mematikan kreativitas serta nilai-nilai yang memanusiawikan manusia. Lebih dari itu, tindak pidana tersebut juga sangat mempengaruhi stabilitas negara.
Untuk mengurangi berkembangnya lingkaran terorisme, pemerintah sudah semestinya menggunakan pendekatan yang bersifat khusus, yaitu pendekatan budaya. Bukanlah suatu kemustahilan kalau semua aksi-aksi terorisme yang terjadi pada bangsa ini berawal dari ketidakadilan, kecemburuan dan kesenjangan sosial. Bagaimanapun hebatnya seorang Gembong Teroris tentu tidak akan melaksanakan aksinya secara sendiri. Tentu akan membangun jaringan sehingga terbentuk organisasi pimpinan, perencanaan, pelaku lapangan. Mereka tentu mencari orang yang pernah sakit hati yang lemah kondisi ekonominya, dianggap labil sehingga mudah direkrut.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dan mengantisipasi kejahatan tersebut. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya instrumen hukum berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang penindakan kejahatan terorisme yang kemudian pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena :
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk tindak pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.

Dalam hal ini pemerintah tidak tanggung-tanggung dan bersikap tegas dalam menanggulangi terorisme. Hal itu terbukti dengan diaturnya pidana mati terhadap beberapa delik terkait kejahatan terorisme, seperti pada pasal 6 dan 7 peraturan ini. Namun demikian, pemerintah juga harus melihat hak-hak asasi dari para pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali I.
Semua hak tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi Tahun 1945 pasal 28A-28J. Dalam pasal 28A telah disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sehingga pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme sangat bertentangan dengan pasal ini. Selain itu pemerintah juga harus melihat hak para pelaku untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan, dan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagimana yang tercantum dalam pasal 28B ayat (1) dan (2). Para pelaku tindak pidana terorisme juga mempunyai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, sesuai dengan ketentuan pasal 28D ayat (1). Hak untuk hidup dan tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, sebagaimana ketentuan pasal 28I ayat (1)
Hukuman mati yang telah dilaksanakan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme juga bertentangan dengan pasal 9 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang hak hidup. Perlu diketahui bahwa Pasal ini berlaku universal, artinya tidak ada pengecualian bagi siapapun, sehingga pelaksanaan eksekusi mati yang telah dilakukan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali I merupakan tindakan yang bertentangan dengan pasal ini.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penegakan HAM tidak boleh mengabaikan hak-hak para pelaku tindak pidana terorisme melainkan harus menghormati dan mengakui keberadaan hak-hak mereka. Sehingga tidak bisa dijalankan secara sepihak dan individual karena alasan para pelaku melakukan pelanggaran HAM.
Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa kepentingan dari orang seorang anggota masyarakat menjadi tanggung jawab negara, dengan adanya hukuman mati maka hal ini tidak dapat terwujud, karena dengan adanya hukuman mati tersebut, maka tamatlah riwayat orang itu dan tidak ada lagi soal pendidikan dan perbaikan terhadapnya.
Penolakan hukuman mati dimulai awal abad 18, seorang bangsa Italia yakni Beccaria menunjukan adanya pertentangan antara pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin contra social. Contra social karena hidup adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengizinkan untuk pidana mati di dalam contra social adalah immoral dan untuk itu tidak sah. Yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati karena proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunh anaknya sendiri. Beberapa waktu kemudian Voltaire, pujangga termashur dapat membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah, sehingga nama Jean Callas direhabilitasi, meskipun namanya direhabilitasi, tetapi apa gunanya, tanpa salah ia telah mati, dimatikan akibat pidana mati yang diperkenankan pada waktu itu.
Berikut ini adalah pandangan dari beberapa ahli hukum yang kontra terhadap pelaksanaan pidana mati.
Rolling menganjurkan suatu argument bahwa pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu apabila negara tidak menghormati nyawa manusia dan menggangap tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang pulahlah hormat orang pada nyawa manusia, hampir sama dengan pendapat tersebut ialah pendapat Von Hentig tahun 1954 dengan memberikan contoh-contoh dari peristiwa sejarah tentang pengaruh yang tidak baik dari pidana mati, ia menyatakan bahwa pengaruh yang kriminogeen pidana mati itu terutama sekali disebabkan karena telah memberikan suatu contoh yang tidak baik dengan pidana mati tersebut. Sebenarnya negara berkewajiban mempertahankan nyawa manusia, dalam keadaan bagaimanapun.
Van Bemmelen sesuai dengan uraian diatas bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah, pemerintah mengakui ketidakmampuannya dan kelemahannya. Ia tidak dapat lagi menguasai keadaan dan tidak berusaha mencari jalan-jalan lain. Dan sebab itub terjadilah keadaan bahaya definitive. Jikalau pembalasan terhadap pembuat yang sebanding dengan kesalahannya, maka Leo Polak konsekuen kepada pengucapan “keadilan pembalasan melarang pidana mati” Alasannya jika pidana mati segera dilaksanakan, maka manusia tidak merasakan pidana itu. Selama pidana mati belum dilaksanakan tetapi telah diputuskan, maka terpidana menjadi tersiksa ketakutan yang tidak dimaksudkan sebagai pidana.
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektit yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.
Menurut Muladi tujuan pemidanaan harus tercakup dua hal, pertama, harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua, harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan keutuhan masyarakat.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-undang tentang terorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun.
Menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-undang yang mengatur soal terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan HAM. Melawan terorisme harus ditujukan bagi perlindungan HAM, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.
Pelaksanaan hukuman mati tidak sejalan dengan substansi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yakni sebagai lembaga pemasyarakatan yang menjalankan fungsi pembinaan perilaku para tindak pidana menjadi lebih baik dan bukan membinasakan. Jika dikaitkan dengan tindak pidana terorisme Bom Bali I, maka sudah merupakan kewajiban lembaga pemasyarakatan untuk menjalankan fungsi pembinaan bagi para pelaku terorisme, agar para pelaku bisa sadar akan perbuatannya dan memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana terorisme untuk bertobat dan menyesali perbuatannya, tidak harus dengan memberikan hukumana mati, Memahami makna inilah yang kemudian melahirkan pemikiran atau pendapat yang kontradiktif terhadap pelaksanaan hukuman mati dimana mustahil terjadinya proses pemasyarakatan jika hukuman mati dilakukan.
Hukuman mati selama ini tidak menimbulkan efek jera. Bentuk hukuman mati hanya akan membuat lingkaran balas dendam. Alasannya, ketika masyarakat mengutuk perilaku kejahatan, lalu kemudian dihukum mati, maka pranata hukum sama saja melakukan tindak kejahatan. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental, melekat dan berlaku bagi semua manusia, tanpa terkecuali. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakuan baik, termasuk juga manusia yang melakukan kejahatan
Pada akhirnya Tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku tindak pidana yang mempunyai kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki atau memperbaiki dirinya sendiri. Pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali I telah dieksekusi mati, padahal mereka masih memiliki hak-hak asasi yang mana harus diperhatikan oleh pemerintah, para pelaku juga masih memilik kesempatan untuk memperbaiki kesalahan





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengesahan Peraturan Perundang-undangan (Perpu) No. 1 Tahun 2002 menjadi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mengundang kontroversi diantara para ahli hukum, mulai dari definisi sampai apakah terorisme dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula, pemberlakukan asas retroaktif terhadap para pelaku Bom Bali I, dan pernyataan tidak sah Mahkamah Konstitusi terhadap pemberlakuan asas retroaktif tersebut.
Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana terorisme pada kasus Bom Bali I. Kalangan yang menolak hukuman mati beranggapan, hukuman mati melanggar HAM dan bertentangan dengan Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan pasal 28 A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya, Selain alasan tersebut juga dirasakan oleh pendapat umum, bahwa hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila dikemudian hari terbukti bahwa putusan hakim keliru atau terjadi peradilan yang sesat.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut.
1. Pemerintah harus meningkatkan keamanan dan rasa tentram di masyarakat dengan mengikut sertakan masyarakat di dalamnya.
2. Pemerintah harus berusaha semaksimal mungkin mengakomodir kepentingan-kepentingan masyarakat dan berusaha semaksimal mungkin memperkecil jurang pemisah antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin, karena Hal ini bisa berakibat terjadinya kecemburuan dan rasa terisolasi yang berdampak negative dalam pencarian jati diri seseorang.





















DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Wahid, (et.all.), 2004. kejahatan terorisme (perspektif Agama, HAM, dan Hukum), Refika Aditama, Bandung

Adam chazawi, 2001. Hukum pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Adam kuper dan Jessica kuper, 2000, Ensiklopedia ilmu-ilmu social, Jilid I, Rajawali Pers, Jakarta


Ahmad Zakaria, 2007, kode sumber (source code) website sebagai alat bukti dalam tindak pidana terorisme di Indonesia (studi kasus website Anshar.Net) UI, Depok

Andi dan Sumangelipu, 1983, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Makassar

Ardison Muhammad, 2010, Terorisme ideologi penebar ketakutan, Liris, Surabaya
Bambang Poernomo. 1997. Azas-azas Hukum Pidana. : Dahlia Indonesia, Jakarta
Dimyati Khuzadaifah, Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, UMS Press 2004, Surakarta

E.Utrecht / Moh. Saleh Djindang, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta.

Hartono Hadisoeprapto, 2004. Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta
Indriyanto Seno Adji, 2001 “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia , Jakarta

J. M. van Bemmelen, 1984, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Diterjemahkan oleh Hasan , Bina Cipta.

Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Universitas Indonesia

Mertokusumo Sudikno, 1999. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta
Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muhammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana, Yogyakarta

P.A.F Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia: Sinar Baru, Bandung

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum , UI Press. Jakarta
Widiyanti Ninik dan Panji Anoraga, 1987, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya, Ppradnya Paramita, Jakarta

B. Internet
http://www.scribd.com/doc/4683235/Terorisme- tanggal 19 Januari 2010 (tgl acces)
http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia

http://hamdyt.blogspot.com/2010/01/b-Unsur-Unsur \ Elemen Elemen Tindak Pidana Menurut Hazewinkel Suringa unsur-unsur-tindak-pidana.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati.tentang pengertian dan penerapan hukuman mati di Indonesia

http:/jongjava.com/web/news-story/internasional/215-hukuman-mati-sebuah-sejarah. Hukuman mati menjadi fenomena sepanjang masa dalam sejarah hukum dunia

http://www.dephan.go.id/index.php,ciri-ciri terorisme. Manajemen krisis Dalam Penanggulangan Terorisme
http://techno.okezone.com/read/2009/07/17/55/239895/topik-bom-kuningan-jadi-nomor-1-di-twitter

http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2621 Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Bali Pasca Tragedi Bom Bali I,
www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Tinjauan_Umum_Hukum_HAM.pdf. Kajian
Hukuman Mati dalam Pandangan Hak Asasi Manusia (laporan kajian sekretaris subkomisi pengkajian dan penelitian, roichatul aswidah)

www.library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin.pdf
Dafri Agussalim, “ Mencari Cara Memerangi Terorisme”, Kompas Cyber Media, (Kamis 23 Agustus 2003). www.kompas.com

Frans Hendra Winata, “ Terorisme itu Kejahatan Luar Biasa” , Kompas Cyber Media, www.kompas.com. (11 September 2004)

Amir Syamsuddin, “ Menegakkan Hukum Tanpa Rasa Keadilan”, Kompas Cyber Media, 30 Juli 2004, www.kompas.com

Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://buletinlitbang.dephan.go.id
Rikard Bangun, 2002. Indonesia di Peta Terorisme Global, http://polarhome.com
Koalisi Internasional”, http:/www.usembassyjakarta.org/terrornet/keberanian.html