Selasa, 22 November 2011

INDONESIA PASTI BISA

Terima Kasih Untuk Titus Bonay cs, atas
Ŝєm∂nğ∂t Dan perjuangannya dalam membela Timnas di Sea Games 2011..
Kalian pemersatu bangsa, dari sabang sampai merauke..
Ŝєm∂nğ∂t Juang kalian adalah kunci dari Rasa Nasionalisme Rakyat Indonesia..
Dan saya saksi akan hal itu..
Masih ada waktu untuk menjadi Juara, janganlah berputus asa, karena kami yakin
INDONESIA PASTI BISA JUARA I. Semoga kedepannya Timnas Garuda Muda
bisa sering melakukan laga ujicoba dengan club club Eropa,
semisal AC MILAN, Barcelona, Real Madrid, MU, dll.

Maju timnas Garuda Muda..
Forza Indonesia
PANCASILA DIDADA KITA

Salam
Milanisti Indonesia

INDONESIA PASTI BISA

Terima Kasih Untuk Titus Bonay cs, atas
Ŝєm∂nğ∂t Dan perjuangannya dalam membela Timnas di Sea Games 2011..
Kalian pemersatu bangsa, dari sabang sampai merauke..
Ŝєm∂nğ∂t Juang kalian adalah kunci dari Rasa Nasionalisme Rakyat Indonesia..
Dan saya saksi akan hal itu..
Masih ada waktu untuk menjadi Juara, janganlah berputus asa, karena kami yakin
INDONESIA PASTI BISA JUARA I. Semoga kedepannya Timnas Garuda Muda
bisa sering melakukan laga ujicoba dengan club club Eropa,
semisal AC MILAN, Barcelona, Real Madrid, MU, dll.

Maju timnas Garuda Muda..
Forza Indonesia
PANCASILA DIDADA KITA

Salam
Milanisti Indonesia

Rabu, 16 November 2011

Kalimat Bijak Tentang Hukum

"Setiap orang sama di hadapan hukum, tetapi tidak sama di hadapan aparat penegak hukum"'.

"Honeste vivere, alterum non laedere, suum quique tribuere" /Hiduplah dengan jujur, jangan menyakiti orang lain, berikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya (Ulpian).

Ada tiga konfigurasi hub hkm & politik : (1) hkm tunduk pd politik, (2) politik tunduk pd hukum, dan (3) hukum dan politik setara & saling ko-eksistensi .

Passion/nafsu politik, harus dibatasi dan dikendalikan oleh sistem hukum, biar tidak liar dan menjadi kejam .

Hukum sebagai anak kandung politik, tidak jarang lebih melayani si pembuatnya dibanding melayani kepentingan rakyat .

Penegakan hukum suap menjadi efektif, bila ada teladan baik dari setiap pimpinan dari aparat penegak dan birokrasi hukum.

Pelaksanaan hukum tergantung semangat dan moralitas aktor penegak hukum. Moral sebagai panduan etik sebaiknya dituangkan dalam hukum, supaya memiliki sanksi yang mengikat.(16/12/09)

Penyelesaian masalah dengan menggunakan instrumen hukum pidana bersifat ultimum remedium (obat terakhir), tetapi penyelesaian yang pertama dan utama (premium remedium) adalah damai (dading) di antara para pihak. Itulah ciri bangsa yang lebih beradab dan demokratis.

Suap dan korupsi hanya bisa diberantas, dari diri sendiri, dari hal-hal yang kecil dan saat ini.

Suap dan korupsi telah mendidik manusia serban instan, dengan mengabaikan kerja keras dan hak sosial - ekonomi masyarakat yang beradab.

Untuk dapat memahami hukum dengan baik, membutuhkan beberapa alat ; ilmu hukum, ilmu logika , ilmu bahasa dan tafsir di bidang hukum .

Untuk dapat menegakkan hukum yang adil dan benar, tidak saja membutuhkan kecerdasan intelektual, tetapi memerlukan pula kecerdasan emosional dan spiritual.

Memahami hukum tidaklah cukup dari bunyi teks UU, tetapi harus pula tahu bagaimana suasana kebatinan saat UU tersebut dilahirkan.

Menegakkan hukum & memberantas korupsi bukan dari ucapan, tapi dari sikap dan perilaku pribadi penegak hukum.

Membangun Hukum adalah membangun Perilaku berhukum masyarakat, terutama aparatur penyelenggara negara & penegak hukum.

Untuk mengetahui tegaknya hukum, bisa dilihat dari perilaku masyarakat berlalu lintas.

Hukum tidak sama dengan UU. Negara Hukum, bukan negara UU.

Undang Undang adalah bacaan di atas kertas, praktek hukum menjadi adil atau tidak , tergantung moralitas aktor penegak hukum.

Lex Legibus sine Moribus ?Apa arti hukum tanpa moralitas?

Kini hukum kian jadi mesin, praktek hukum menjadi produksi dan komoditas, jauh dari rasa keadilan.

Hukum dibuat untuk Manusia,
Bukanlah Manusia untuk Hukum.

Hukum dan keadilan, ibarat badan dengan jiwa.

PEMBATAIAN 44 ORANG KAYA BANDA

nilah bangunan saksi bisu kekejaman Jan Pieterszoon Coen.  Benteng Nassau ini didirikan oleh Laksamana Pieterszoon Verhoeven.  Ia tiba di Banda Naira pada tanggal 8 April 1609 bersama tiga belas kapal ekspedisi yang diperintahkan de Heeren XVII (dibacanya Heeren Zeventien, yaitu para direktur VOC di Amsterdam) untuk memenangkan pulau-pulau penghasil cengkeh dan pala bagi VOC baik secara perundingan maupun kekerasan.  Sebenarnya ada empat belas kapal yang bertolak meninggalkan Belanda.  Namun satu kapalnya hilang di lautan dalam perjalanan menuju Maluku.

 

Ketika Verhoeven tiba di Banda, Inggris di bawah pimpinan Kapten William Keeling telah lebih dulu berada di sana, berdagang dengan rakyat Banda juga pedagang Belanda di Banda Naira.  Verhoeven tidak senang akan hal ini.  Kapten Keeling kemudian mundur ke Pulau Run dan Pulau Ai.  Di sana ia tawarkan perlindungan kepada para pedagang Belanda di kedua pulau tersebut.

 

Verhoeven berang akan keberadaan Inggris di Kepulauan Banda.  Keberangannya bertambah dengan sikap rakyat Banda yang mengelak berunding dengannya.  Pada tanggal 25 April 1608 Verhoeven turun ke Pulau Naira beserta sekitar 300 orang prajurit untuk membangun Benteng Nassau.  Benteng tersebut didirikan di lokasi Portugis pernah membangun benteng batu yang kokoh sekitar seratus tahun sebelumnya.  Portugis berkuasa di Kepulauan Banda pada tahun 1512 – 1580.

 

Melihat pembangunan benteng berjalan pesat, para Orang Kaya Banda mengusulkan perundingan dilaksanakan pada tanggal 22 Mei 1609.  Mereka meminta jaminan sandera untuk perundingan.  Orang Kaya ialah gelar untuk pemuka adat atau orang yang disegani di antara rakyat Banda. 

 

Verhoeven menyambut baik usulan para Orang Kaya ini.  Ia menunjuk dua orang pedagang bernama Jan de Molre dan Nicolaas de Visscher sebagai sandera.  Verhoeven berangkat ke tempat perundingan bersama dewan kapten, para pedagang, pasukan tentara bersenjata lengkap, dan tawanan-tawanan Inggris untuk dihadiahkan.  Sesampainya mereka tempat perundingan mereka tidak menemukan para Orang Kaya.  Tempat perundingan itu terletak di bawah sebatang pohon di dekat pantai bagian Timur Pulau Naira,

 

Verhoeven kemudian mengutus penerjemah bernama Adriaan Ilsevier mencari para Orang Kaya.  Di hutan kecil yang sekarang menjadi mesjid Kampung Baru, Ilsevier menemukan para Orang Kaya.  Mereka ketakutan melihat pasukan bersenjata yang dibawa Verhoeven.  Mereka meminta Verhoeven untuk datang menemui mereka hanya ditemani beberapa orang.

 

Tanpa curiga Verhoeven menemui para Orang Kaya di tempat yang sekarang disebut Kampung Verhoeven.  Ternyata ia dijebak.  Verhoeven beserta Opperkoopman atau pedagang senior Jacob van Groenwegen dan 26 orang Belanda lainnya dibunuh.  Kejadian ini dikenal dengan nama ‘Pembantaian Banda tahun 1609’.  Jan Pieterszoon Coen – juru tulis Verhoeven yang nyaris mengalami nasib sial turut dibantai – menyaksikan kejadian tersebut. 

 

Sepeninggal Verhoeven, Laksamana Simon Janszoon Coen ditunjuk dewan perwira sebagai pemimpin yang baru.  Ia lah yang menyelesaikan pembangunan Benteng Nassau.

 

Di kemudian hari setelah menjadi Gubernur Jenderal, Jan Pieterszoon Coen kembali ke Banda.  Ia tiba dari Batavia di Benteng Nassau pada tanggal 27 Februari 1621 dengan tujuan menciptakan monopoli perdagangan pala.  Selain pasukan tentara-tentara VOC, JP Coen membawa  vrijburger (tentara VOC yang telah habis masa kontrak), orang-orang mardijkers (orang-orang Portugis di Batavia yang dibebaskan setelah mereka menganut Kristen Protestan seperti orang-orang Belanda), dan musketiers (para relawan).  Ia juga membawa orang-orang hukuman dari Pulau Jawa untuk bekerja sebagai pendayung perahu dan tentara bayaran Jepang yang disebut Ronin (samurai yang tidak mempunyai pimpinan lagi).

 

Operasi penaklukan Banda dimulai 3 Maret 1621.  JP Coen dan pasukannya mulai menyerang Banda Besar di pagi hari tanggal 11 Maret 1621.  Hanya dalam sehari semalam mereka berhasil menguasai seluruh pulau itu.  Desa Selamon – tempat awal Islam masuk ke Banda - dijadikan markas besar mereka di sana.  Selain menguasai desa mereka juga menyita balai desa untuk digunakan sebagai kantor Gubernur Banda yang baru yaitu Kapten Martin ‘t Sionck, dan mesjid di sebelah balai untuk penginapan pasukan.  Orang Kaya Jareng dari Selamon menolak mesjid digunakan untuk para pasukan Belanda.  Ia tidak berkeberatan jika mesjid digunakan oleh Gubernur Sionck.  Namun Sionck tidak peduli dengan tanggapan Orang Kaya Jareng tersebut.  Ia juga tidak mengizinkan Orang Kaya Jareng dan penduduk desa menggunakan mesjid untuk ibadah yang akan dilaksanakan dua hari kemudian.

 

Pada malam tanggal 21 April 1621, lampu gantung dalam mesjid terlepas dan jatuh ke lantai.  Sionck menimbulkan kepanikan saat membangunkan perwira, pengawal dan para penjaga untuk mencari penyebab jatuhnya lampu.  Seorang anak kecil keponakan dari istri Orang Kaya Kalabaha mengatakan bahwa jatuhnya lampu merupakan tanda untuk bersiap-siap menyerang pasukan Belanda.  Belanda kemudian menyiksa beberapa Orang Kaya agar mereka mengaku terlibat dalam persekongkolan tersebut.  Padahal sebenarnya anak kecil itu cuma asal ngomong doang, aduhh …

 

JP Coen menangkap para Orang Kaya Banda.  Mereka dipaksa mengaku sebagai pemicu kerusuhan.  Satu kurungan bambu berbentuk bulat dibangun di luar Benteng Nassau.  Delapan Orang Kaya paling berpengaruh digiring masuk ke dalam kurungan.  Mereka dituduh bersekongkol untuk membunuh Gubernur Jenderal JP Coen.  Enam orang serdadu algojo Jepang kemudian diperintahkan masuk ke dalam kurungan.  Dengan pedangnya yang tajam mereka memotong kedelapan Orang Kaya ini menjadi empat bagian.  Berikutnya ke-36 Orang Kaya lainnya dipenggal kepala, lalu dipotong-potong badannya.  Potongan kepala dan badan ditancapkan pada ujung bambu untuk dipertontonkan kepada masyarakat.  Iyyyaakkkkkssssss !!!!!!!!!!!!

 

Pembantaian 44 Orang Kaya Banda ini terjadi pada tanggal 8 Mei 1621.   Peristiwa tersebut sangatlah mengerikan.  Seorang saksi mata Letnan Laut Nicolas van Waert menyaksikan penuh kecemasan dan ketakutan.  Ke-44 Orang Kaya tersebut tidak mengucapkan apa-apa sebelum eksekusi kecuali satu orang yang bertanya, ‘Apakah Tuan-tuan tidak merasa berdosa ?’  Dosa.  Barangkali kata itu sama sekali tidak pernah terlintas di benak JP Coen.  Yang ia pikirkan adalah kekuasaan.  Tidak peduli untuk mencapai itu harus terjadi pertumpahan darah.

 

Nama-nama Orang Kaya yang dibantai atas perintah JP Coen itu ditulis dalam dokumen sejarah atas laporan JP Coen dalam buku ‘Coen Op Banda’ (Coen di Banda).  Selain itu tercatat pula 6.000 orang Banda dibunuh, 789 orang Banda diasingkan secara paksa ke Batavia, 1.700 orang Banda melarikan diri ke Banda Eli, Banda Elat Kepulauan Kei, Seram dan tempat-tempat lain, dan 5 Orang Kaya lolos bersama 300 orang lainnya bertolak dari Pantai Dender dijemput 20 kora-kora dari Seram Timur.  Dari 14.000 orang rakyat Banda, setelah peristiwa pembantaian di tahun 1621 ini jumlah penduduk asli kepulauan Banda tinggal 480 orang.  Dengan demikian bisa dikatakan rakyat asli Banda telah ‘habis’.  Konon pemusnahan rakyat Banda ini atas perintah tidak resmi dari Heeren XVII pada tahun 1615 yang mengatakan bahwa keberhasilan untuk menjajah Kepulauan Banda dan menguasai rempah di sana adalah dengan menghabiskan atau menghilangkan pimpinan yang dituakan rakyat secara besar-besaran sehingga rakyat yang tertinggal tidak mempunyai pemimpin perlawanan.

 

 

Referensi :

Des Alwi, “Sejarah Maluku – Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon” , Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 200

Senin, 01 Agustus 2011

FILSAFAT DAN TEORI HUKUM POST MODERN ( Dr. Munir Fuady, S.H, M.H, LL.M )

FILSAFAT DAN TEORI HUKUM POST MODERN ( Dr. Munir Fuady, S.H, M.H, LL.M )

BAB I
Dunia Hukum Sedang Bergejolak

Dunia akan kacau seandainya hukum tidak ada, tidak berfungsi atau kurang berfungsi. Ini adalah suatu kebenaran yang telah terbukti dan diakui bahkan sebelum manusia mengenal peradaban sekalipun. Mengapa masyarakat Amerika Serikat sampai membenarkan pengiriman putra-putra bangsanya untuk bergerilya dan mempertaruhkan nyawanya di hutan tropis dan rawa – rawa dalarn Perang Vietnam pada awal dekade 1960-an? Mengapa kerusakan lingkungan terjadi di mana-mana? Dan yang lebih penting lagi, mengapa semua masalah tersebut dan luluh lantak seperti itu terjadi pada abad ke-20 ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi sedang mengkiaim dirinya berada di puncak kemajuannya di atas menara gading itu? Semua ini memperlihatkan.dengan jelas betapa ilmu hukum dan ilmu sosial serta ilmu budaya sudah gagal dan lumpuh sehingga sudah tidak dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai pelindung dan pemanfaat terhadap peradaban dan eksistensi manusia di bumi ini.
Karena itu, dalam bidang ilmu nonsains, bahkan juga kemudian dalam ilmu sains itu sendiri, terdapat gejolak – gejolak dalam bentuk pembangkangan, yang semakin lama tensinya semakin tinggi. Gejolak tersebut yang kemudian mengkristal menjadi protes yand akhirnya melahirkan aliran baru dengan cara pandang baru terhadap dunia, manusia, dan masyarakat dbngan berbagai atributnya itu. Karena sains juga mempunyai watak “anarkis”, maka pada awal mulanya setiap pembangkangan dianggap sebagai konsekuensi dari perkembangan sains sehingga pembangkangan tersebut dianggap wajar-wajar saja.

Science is an essentially anarchistic enterprise: Theoretical anarchism is more humanitarian and more likely to encourage progress than its law-and-order alternatives (Paul Feyerabend, 1982: 17).

Bagi para penganut ajaran postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka tidak mempercayai kepada hal-hal yang universal, harmonis, konsisten, dan transendental. Tidak ada musyawarah-musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Aliran postmodern ini masuk pula ke dalam bidang hukum, yang bersama-sama dengan paham terakhir di bidang hukum, saat itu, yaitu paham realisme hukum serta bersama pula dengan paham kritis radikal seperti aliran Frankfurt di Eropa, mereka bersama-sama mempolakan suatu aliran baru dalam bidang hukum, yang tentu saja radikal, yaitu yang disebut dengan aliran hukurn kritis (critical legal studies). Seorang pelopor utama dari aliran critical legal studies, yaitu Roberto Mangabeira Unger menyatakan bahwa:

the critical legal studies movement has undermined the central ideas of modem legal though and put another conception of law in their place
(Roberto Mangabeira Unger, 1986: 1).

Dalam berbagai bidang ilmu terdapat berbagai variasi terhadap visi dan perkembangan aliran terakhirnya di abad kedua puluh itu. Ada yang secara langsung melawan paham sebelumnya berupa paham positivisme yang sangat dipengaruhi oleh pola pikir ilmiah – rasional berdasarkan ilmu dan teknologi. Aliran-aliran hukum yang sangat dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dengan cara berpikir dengan menggunakan rasio yang abstrak-silogisme sebagaimana yang dilakukan paharn positivisme dari Agust Gornte, ajaran hukum. murni dan grundnorm dari Hans Kelsen dari Jerman, ataulbun ajaran hukum alam, bahkan ajaran-ajaran seperti dari Durkheirn, Von Jhering, Max Weber, dan Gustav Radbruch sebelumnya sudah dilabrak habis oleh aliran realisme hukum pada, sekitar dekade 1930-an. Jadi, tidak benar jika ilmu hukum selalu bersifat konservatif dan cenderung mempertahankan status quo sebagaimana yang dituding oleh banyak orang.
Aliran realisme hukum ini melakukan pembangkangan terhadap teori dan konsep hukum yang ada dengan mengajukan banyak pertanyaan penting terhadap hukum. Hanya saja, eksistensi kehidupan aliran. realisme hukum tersebut kemuthan memang dalarn keadaan megap-megap dan dunia hukum menjadi semakin redup setelah meninggalnya para pelopor dari aliran realisme hukum itu, terutama dengan meninggalnya Karl Llewellyn, Joreme Frank, dan Felix Cohen.
Akan tetapi, kemudian dunia hukum kembali bersinar lagi, terutama dengan munculnya aliran baru pada akhir abad ke~20 yang disebut dengan critical legal studies.
Aliran critical legal studies merupakah suatu aliran yang bersikap anti – liberal, antiobiektivisme, antiformalisme, dan antikemapanan dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir postmodem, neomarxism, dan realisme hukum, secara radikal mendobrak paham hukum yang sudah ada sebelumnya, yang menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/mayoritas/berkuasa/kaya dalam rangka mempertahankan hegemoninya, atau keberpihakan hukum terhadap politik dan ideologi tertentu, di mana aliran critical legal studies ini dengan menolak unsur kebenaran objektif dari ilmu pengetahuan hukum, dan menolak-pula kepercayaan terhadap unsur keadilan, ketertiban, dan kepastian hukum yang objektif, mereka mengubah haluan hukurn untuk kernudian digunakan sebagai alat untuk menciptakan emansipasi dalam dunia politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Modernisme mengakibatkan militerisme. Karena unsur religius dan moral tidak berdaya, manusia cenderung menggunakan kekuatan kekuasaan sehingga perang crengan senjata canggih, kekerasan, ataupun militerisme tidak terelakan. Meskipun penggunaan agama secara fundamentalis juga dapat mengakibatkan hat yang sama afas nama perjuangan menegakkan agama secara kaku.

Sebagai konsekuensi penggunaan kekuasaan secara koersif, maka timbullah kembali paham tribalisme, yang hanya mementingkan suku atau kelompoknya sendri.
(I. Bambang Sugiharto, 1996:30).

Perkembangan dunia modern yang sarat dengan ilmu dan teknologi dan dengan cara berpikir yang sekuler dan kapital – liberalisme, ternyata telah membawa petaka berupa kehancuran planet bumi sekaligus merupakan ancaman terhadap kehidupan dan peradaban manusia. Karena itu, di mana-mana dewasa ini semangat menyelesaikan segala persoalan manusia dengan mengikutsertakan pertimbangan spiritual sudah mulai bergema lagi. Faktor agama yang suclah lama tidur lelap karena dipandang hanya sebagai candu yang meninabobokan masyarakat, diundang untuk turun tangan kembali. Jika pada masa-masa lalu ternyata agama dapat bersikap aktif dan komunikatif, dengan adaptasi-adaptasi tertentu, diharapkan tentunya agama tersebut dapat memainkan perannya kembali.

Relativisme
Merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua putusan terhadap nilai bersifat relatif terhadap perspektif dan tujuan yang terbatas. Jadi, tidak ada tempat berpijak yang secara objektif menentukan bahwa sesuatu itu secara normatif benar atau tidak.sekarang zaman postmodern telah datang, yang akan menjungkirbalikkan hampir semua asumsi dan pola pikir zaman modern yang terkesan congkak (arogan) tersebut.
Postmodern merupakan penolakan yang radikal terhadap pernikiran modern. Sebagaimana diketahui bahwa paham falsafah modern ini dibentuk oleh Immanuel Kant, Rene Descartes, dan David Hume. Meskipun harus diakui bahwa pemikiran pada era modern tersebut telah juga melakukan lompatan-lompatan, terutama dengan berkembangnya secara pesat ilmu pengetahuan dan teknologi, yang menggantikan konsep pramode prailmiah yang sangat menekankan pada kepercayaan, mitos, takhayul, cerita-cerita primitif, dan hal-hal yang tidak logis lainnya.

BAB II
Sketsa Post Modern : Porak – Porandanya Pengetahuan

Istilah “postmodern” sekarang sangat sering digunakan, tetapi lebih sering lagi disalahgunakan. Sangat sulit mendefinisikan postmodern dalam satu atau dua kalimat saja karena postmodern pada hakikatnya berisikan aneka ragam, saling berserakan, dan sering kali isinya saling bertolak belakang, bahkan terkesan seperti “kapal pecah” sehingga suatu definisi untuk itu memang tidak dibutuhkan. Itulah dia watak postmodem, suatu ungkapan sangat populer, tetapi tanpa definisi yang jelas.
Di samping itu, bagi kaum postmodem, “perbedaan” merupakan inti dari segala kebenaran. Karena itu, mereka’tidak mempercayai pada hal-hal yang universal, harmonis, dan konsisten. Tidak ada musyawarah musyawarahan dalarn mencari kebenaran dan menghadapi realitas. Yang ada hanyalah perbedaan-perbedaan, dan perbedaan-perbedaan tersebut harus selalu dihormati.
Kaum postmodern percaya bahwa tidak ada suatu yang transenden dalam realitas. Nietzsche mengatakan bahwa Tuhan sudah mati. Menurut paharn postmodem, realitas yang sama dapat ditafsirkan secara berbeda – beda oleh pihak yang berbeda – beda. Karena itu, tidak mengherankan jika Jacques Derrida, seorang pelopor aliran postmodem, mengajak manusia untuk berhenti mencari kebenaran (sebagaimana yang dilakukan oleh kaurn pencerahan), bahkan seyogianya kita membuang pengertian kebenaran tersebut. Tidak ada kebenaran yang absolut, universal, dan permanen. Yang ada hanyalah kebenaran menurut suatu komunitas tertentu saja. Yang diperlukan bukanlah usaha mencari kebenaran, melainkan yang diperlukan adalah percakapan dan penafsiran yang terus – menerus terhadap suatu realitas, tanpa perlu memikirkan suatu kebenaran yang objektif.
Paham postmodem juga menolak teori korespondensi, yang menyatakan bahwa suatu kebenaran baru ada jika adanya hubungan yang selaras antara. statement yang diucapkan dan realitas/fakta. Menurut teori korespondensi:

“Jika Anda berkata ada sebuah roti apel di lemari es, saya perlu melihat ke dalam lemari es itu untuk membuktikan apakah perkataan Anda benar. “
(Stanley J. Gren-i, 2001: 69).

Oleh kaum realis, teori korespondensi ini dianggap berlaku universal dimana-mana. Menurut kaum realis, pikiran manusia, dapat mengetahui suatu realitas secara, utuh sehingga. dunia dapat digambarkan secara. utuh, lengkap, dan tepat termasuk menggambarkan rahasia alam semesta, melalui ilmu pengetahuan. Dan kesemuanya itu dapat digambarkan dengan suatu bahasa. yang tepat. Dengan demikian, menurut kaurn postmodem, bahasa. berfungsi sebagai permainan catur, yang memiliki aturan bagaimana seharusnya, suatu pion digerakkan. Jacli, bahasa. ticlak dapat begitu saja clihubungkan dengan suatu realitas karena bahasa ticlak menggambarkan realitas secara tepat clan objektif, tetapi bahasa hanya menggambarkan dunia. dengah berbagai cara. bergantung konteks dan keinginan yang menggunakan bahasa. tersebut.
Dengan demikian, aliran critical legal studies, yang antara lain merupakan refleksi aliran postmodem ke dalam bidang hukum mencoba memberikan suatu jawaban atau minimal merupakan suatu kritikan terhadap kenyataan bahwa hukum pada akhir abad ke-20 memang timpang, baik dari segi tataran teoritis, filsafat, maupun dalam tataran praktisnya. Di samping itu, dengan pendekatan secara induktif, bergerak dari kenyataan hukum yang diterapkan dalam masyarakat, menyebabkan para pemikir hukum pada akhir abad ke-20 terpaksa harus mengakui beberapa premis hukum baru, yang memporak-porandakan premis hukum yang lama.

BAB III
Pengaruh Dari Realisme Hukum

The life of the law has not been logic, it has been experience … the law can not dealt with as if it contained only the axioms and corollaries of a book of mathematics.,
(Oliver Wendell Holmes)

A. Latar Belakang Lahirnya Aturan Realisme Hukum
Gerakan critical legal studies, yang semula merupakan keluh kesah dari beberapa pernikir hukum di Amerika Serikat yang kritis, tanpa disangka ternyata begitu cepat gerakan ini nenemukan jati dirinya dan telah menjadi suatu aliran tersendiri dalam teori dan filsafat hukum. Dan ternyata pula bahwa gerakan ini berkembang begitu cepat ke berbagai negara dengan kritikan dan buah pikirnya yang cukup segar dan elegan..
Sebagaimana biasanya suatu aliran dalarn filsafat hukurn, maka aliran realisme hukum juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan nonhukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:
Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan. Faktor perkembangan sosial dan politik.
Walaupun begitu, sebenarnya aliran pragmatism dari William James dan John Dewey itu sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap ajaran dari Roscoe Pound.
Pengaruh dari aliran fragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme hukum. Sebagaimana diketahui bahwa kala itu (awal abad ke-20), dalam dunia filsafat sangat berkembang ajaran pragmatisme ini, antara lain yang dikembangkan dan dianut oleh William James dan John Dewey. Bahkan, dapat dikatakan bahwa pragmatisme sebenarnya merupakan landasan filsafat terhadap aliran realisme hukum. Dalam tulisan – tulisan dari para penganut dan inspirator aliran realisme hukum, seperti tulisan d.ari Benjamin Cardozo atau Oliver Wendell Holmes, sangat jelas kelihatan pengaruh dari ajaran pragmatisme hukum ini.
Hubungan antara aliran realisme hukurn dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan atau overlapping, tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran tersebut justru saling berseberangan. Roscoe Pound, yang merupakan penganut aliran sociological jurisprudence, merupakan, salah satu pengritik terhadap aiiran realisme hukum. Akan tetapi, yang jelas, sesuai dengan namanya, aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih nyata dibandingkan dengan aliran sociological jurisprudence.

B. Konsep Pemikiran Dari Realisme Hukum
Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang hukum. Bagi seorang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagaimana. memprediksikan hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada masa yang akan datang.
Para penganut aliran critical legal studies telah pula bergerak lebih jauh dari . aliran realisme hukurn dengan mencoba menganalisisnya dari segi teoretikal-sosial terhadap politik hukum. Dalarn hal ini yang dilakukannya adalah dengan menganalisis peranan dari mitos “hukurn yang netral” yang melegitimasi setiap konsep hukum, dan dengan menganalisis bagaimana sistern hukurn mentransformasi fenomena sosial yang sarat dengan unsur politik ke dalam simbol-simbol operasional yang sudah dipolitisasi tersebut. Yang jelas, aliran critical legal studies dengan tegas menolak upaya-upaya dari ajaran realisme hukum dalam hal upaya aliran realisme hukum untvk memformulasi kembali unsur “netralitas” dari sistern hukum.
Seperti telah dijelaskan bahwa aliran realisme hukum ini oleh para pelopornya sendiri lebih suka dianggap sebagai hanya. sebuah gerakan sehingga mereka. menyebutnya sebagai “gerakan” realisme hukum (legal realism movement). Nama populer untuk aliran tersebut memang “realisme hukum” (legal realism) meskipun terhadap aliran ini pernah juga diajukan nama lain seperti: Functional Jurisprudence. Experimental Jurisprudence. Legal Pragmatism. Legal Observationism. Legal Actualism. Legal Modesty Legal Discriptionism. Scientific Jurisprudence. Constructive Scepticism.

C. Hubungan Realisme Hukum Dengan Critical Legal Studies
Kaum realist hukum tidak percaya terhadap pendekatan pada hukum yang dilakukan oleh kaurn positivist dan naturalist, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa hakirn hanya menerapkan hukurn yang dibuat oleh pembentuk undang-undang. Bahkan, sebagaimana yang dikemukakan oleh aliran formalisme hukurn bahwa penalaran hukum (legal reasoning) merupakan penalaran yang bersifat syllogism, di mana premis mayor berupa aturan hukurn dan premis minor berupa fakta-fakta yang relevan, sedangkan hasilnya berupa putusan hakim. Menurut ajaran realisme hukum, aliran positivisme maupun allran formalisme sama-sama meremehkan penerapan hukum oleh hakim, di mana menurut golongan ini, peranan hakirn hanya sebatas menerapkan hukum atau paling jauh hanya menafsirkan hukum seperti yang terdapat dalarn aturan perundangundangan. Sebaliknya, menurut aliran realisme hukum, hakim tidak hanya menerapkan atau menafsirkan hukum. Dalarn banyak hal, ketika hakirn memutuskan perkara, hakirn justru membuat hukum. Hukurn yAng dibuat oleh hakirn ini umumnya sangat dipengaruhi oleh latar belakang politik dan perasaan dari hakirn yang memutuskan perkara tersebut.
Aliran realisme hukurn pada prinsipnya me.mberikan beberapa tesis sebagai berikut:
1. Tesis Pertama
Aturan hukurn yang ada tidak cukup tersedia untuk dapat menjangkau setiap putusan hakirn karena masing-masing fakta hukum dalarn masing-masing kasus yang bersangkutan bersifat unik.
2. Tesis Kedua
Karena itu, dalarn memutus perkara, hakirn membuat hukum yang baru.
3. Tesis Ketiga
Putusan hakim dalam kasus-kasus yang tidak terbatas tersebut sangat dipengaruhi oleh pertimbangan politik dan moral d.ari hakim itu sendiri, bukan bbrdasarkan pertimbangan hukum.

Karena masuknya ilmu-ilmu positif ke dalam bidang hukum menjadikan hukum seperti kerangka-kerangka yang mati dan tidak berjiwa, maka keadilan yang sebenarnya merupakan tujuan utama bagi hukum, semakin jauh dan kenyataan. Unsur-unsur antropologis sama sekali diabaikan. Nilai-nilai, termasuk nilai keadilan, kebenaran, perlindungan, rasa sayang, empati, dan. lain-lain tidak pernah lagi dipertimbangkan oleh hukum. Hakim dipaksa menjadi semacam robot-robot. Dari sini timbul gagasan untuk menggantikan hakim dengan mesin-mesin komputer saja.

D. Kritik Terhadap Realisme Hukum
Sebagai sebuah aliran yang menjelajahi sampai ke dunia filsafat, adalah wajar jika terhadap aliran realisme hukum terjadi perbedaan pendapat dan kritikan-kritikan. Bahkan, pada awal-awal kelahirannya, tentang konsep – konsep dari aliran ini sempat menjadi perdebatan yang terbilang sengit di antara para ahli hukum. Sekitar tahun 1931, bahkah terjadi perdebatan yang cukup seru di antara para ahli hukurn kala itu, khususnya antara Roscoe Pound, Karl Llewellyn, dan Jorerne Frank. Polemik tersebut sangat membekas dan terus berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dari aliran realisme hukurn ini.
Kritik terhadap aliran realisme hukum juga diajukan terhadap hal-hal yang berkenaan dengan pandangannya tentang proses judisial. Dalam hal ini kritik diajukan terhadap statement yang normatif dan terhadap konsep “logic”, sedangkan terhadap penekanan kaum realis hanya terhadap kasus-kasus yang susah saja.
Mengenai logika hukum, kaum realisme hukum dikritik bahwa kaum realisme hukum tersebut, terutama Joreme Frank, gagal melihat bahwa logika bukan alat untuk menemukan sesuatu, melainkan lebih merupakan suatu demonstrasi, di mana dari premise yang tetap dapat ditarik kesimpulan tertentu dengan alasan yang logis. Sebagaimana diketahui bahwa kaum realisme hukum memang menentang penarikan kesimpulan hukum dengan menggunakan logika melalui silogisme. Akan tetapi, sebenarnya kaum realisme hukurn sudah membedakan antara alasan (reason) untuk suatu pendapat (opinion) dan logika (logic) untuk mengambil suatu keputusan hukum..

BAB IV
Critical Legal Studies :
Latar Belakang dan Perkembangan

A. Latar Belakang Lahirnya Critical Legal Studies
Sebagaimana diketahui bahwa banyak kekecewaan terhadap filsafat,teori, dan praktek hukum yang terjadi di paruh kedua dari abad ke-20. Sedangkan aliran lama yang mainstream saat itu., semisal aliran realisme hukum, di samping perannya semakin tidak bersinar, semakin tidak populer, dan juga ternyata tidak dapat menjawab berbagai tantangan zaman di bidang hukum. Sangat terasa, terutama pada akhir abad ke-20, bahwa diperlukan adanya suatu aliran dan gebrakan baru dalarn praktek, teori, dan filsafat hukum untuk menjawab tantangan zaman tersebut. Maka, aliran critical legal studies datang pada saat yang tepat dengan menawarkan diri sebagai pengisi kekosongan dan kehausan akan doktrin – doktrin baru dalarn hukum kontemporer.
Aliran critical legal studies mengritik aliran-aliran hukum yang sedang berkembang saat itu yang diyakini oleh sebagian besar ahli hukum sebagai aliran modern dalarn hukum. Aliran-aliran hukurn yang dibilang modern tersebut memiliki -karakteristik yang liberal dan plural, sama dengan paham yang berlaku pada umumnya di bidang-bidang sosial dan politik lainnya, Karena itu, ke dalam bidang hukum, aliran-aliran hukum yang mendapat kecaman keras dari aliran critical legal studies tersebut, disebut dengan liberalisirne dan pluralisme hukum.

B. Critical Legal Studies Sebagai Tanggapan Terhadap Ketidakberdayaan Hukum
Menyadari akan kebobrokan hukum yang sudah sampai pada tataran teoretis dan filsafat ini, maka pada akhir abad ke-20, tepatnya mulai dekade 1970-an, beberapa ahli hukum mulai melihat hukum dengan kacamata. yang kritis, bahkan sangat kritis, dengan gerakannya. yang terbilang revolusioner, akhirnya memunculkan suatu aliran baru dalarn filsafat hukum, yang kemudian dikenal dengan sebutan “aliran hukum kritis” (critical legal studies). Meskipun aliran critical legal studies belum tentu juga mempunyai teori yang bersifat alternatif, tetapi paling tidak, dia sudah punya. sejarah.
Di samping itu, aliran critical legal studies ini juga berbeda secara konsepsi dengan pendekatan hukum secara sosiologis (sociolegal studies). Pendekatan pada hukum secara sosiologis memiliki kelemahan utama berupa terabaikannya karakter orientasi kebijaksanaan hukum (policy oriented). Khusus untuk masalah ini, berbagai alternatif pendekatan baru telah dilakukan oleh para ahli hukum, seperti munculnya ajaran berupa sosiologi hukum kritis (critical sociology of law) atau pendekatan pada hukum (dan juga pada fenomena sosial lainnya) berupa pendekatan secara dialektikal yang modern, semacam yang dilakukan oleh ahli pikir seperti Derrida, atau bahkan seperti yang dimunculkankan oleh Hegel, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut, antara. lain oleh Bhaskar, dengan doktrinnya berupa “realisme kritikal dialektis” (dialectical critical realism). Pendekatan nonkonvensional terhadap hukum seperti ini sudah barang tentu sangat bertentangan dengan pendekatan-pendekatan hukum secara klasik, yang terialu menekankan pada cara berpikir “identitas” (identity thinking).

C. Critical Legal Studies, Formalisme, dan Pluralisme Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa aliran critical legal studies merupakan reaksi terhadap aliran-aliran hukum sebelumnya, di mana aliran hukum sebelumnya tersebut sangat berpegang pada. paradigma bahwa hukum terpisah dengan faktor politik dan moral, dengan mengagung-agungkan manusia sebagai pernegang hak individual dan penyandang kewajiban hukum, dan dengan mengabaikan hubungan politik dan sosial di antara para anggota masyarakat.
Di samping itu, menurut paham formalisme hukum, hukum bersifat imperatif, karena hukum tersebut dibuat oleh negara. dan alat-alat pelengkapan negara bertugas untuk menjalankan hukum tersebut. Pemerintah bersama~sama dengan DPR mempunyai otoritas untuk membuat undang-undang, yang akan diterapkan oleh hakim di pengadilan. Pemikiran seperti ini membawa akibat bahwa validitas hukum tidak lagi dilihat pada aspek substantifnya. Yang dilihat hanyalah faktor formalnya, seperti keabasahan prosedur pembuatan dan penerapan hukum, kewenangan pejabat pembuat dan penerap hukum, dan lain-lain.

D. Critical Legal Studies dan Sejarah Hukum
Aliran critical legal studies juga banyak memberikan pandangannya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan sejarah hukum.
Selanjutnya, kaum critical legal studies juga. Tidak percaya pada pandangan kaurn adaptationism, baik terhadap pandangan kaurn adaptationism yang deskriptif maupun terhadap pandangannya yang normatif. Pandangan yang deskriptif dari kaurn adaptationism menyatakan bahwa sejarah masa lalu hanya berisikan suatu daftar dari tema-tema umurn saja, sedangkan pandangannya yang normatif menyatakan bahwa. masa kini merupakan perbaikan yang terus-menerus terhadap masa lalu sehingga. apa yang terjadi masa kini harus disambut dengan baik.
Sebenarnya, yang pertama sekali mengembangkan terminologi “teori kritis” adalah mazhab frankfurt, yang dipelopori oleh para anggota dari Institute for Social Research dari University of Frankfurt, yang umumnya merupakan para sarjana berhaluan kiri. Kemudian, istilah “teori kritis” ini, yang sebenarnya tidak begitu jelas batas-batasnya, berkembang ke berbagai bidang ilmu, yang di kembangkan antara lain oleh sarjana atau kelompok dari sarjana dalam bentuk teori-teori sebagai berikut: Teori marxist dari Frankfurt School, Teori semiotic and linguistic dari Julia Kristeva dan Roland Barthes, Teori psychoanalythic dari Jacquest Lacan, Critical legal studies dari Roberto Unger dan Duncan Kennedy, Teori queer, Teori gender, Teori kultural, Teori critical race, Teori radical criminology.

E.. Critical Race Theory ( Race – Crits )
Sebagaimana diketahui bahwa konferensi pertama yang menandakan lahirnya gerakan critical legal studies ini dibuat dalam tahun 1977 di University of Wisconsin, Medison, dalam tahun 1977. Lebih kurang dua puluh tahun kemudian, muncul dua pengembangan yang merupakan generasi kedua dari aliran critical legal studies, yaitu aliran critical feminist jurisprudence dan aliran critical race theory.

F. Respons dari Kaum Ortodoks Terhadap Critical Legal Studies
Sebagai suatu ajaran dalarm filsafat, sudah barang tentu aliran critical legal studies ini mendapat resp6ns dan kritik dari berbagai sudut pandang. Di antara respons yang penting terhadap aliran critical legal studies tersebut adalah responsns dari kaum ortodoks, yang merupakan para penganut dari aliran liberal dalam hukum. Pada pnn.sipnya, mereka mengritik aliran critical legal studies ini, baik dari segi indeterminasi dan legitimasi maupun dari hasil yang didapati. Mernang banyak ahli hukum menyatakan bahwa karena posisi yang diambil oleh aliran critical legal studies ini sangat ekstrem, dalam, banyak hal malahan overstated, menyebabkan mereka sangat mudah dikritik oleh pihak yang tidak menyetujuinya.

BAB VI
Critical Legal Studies Tentang
Kekuasaan dan Masyarakat

A. Peranan Hukum dalam Masyarakat

Bagaimanapun juga, hukum mengatur kepentingan masyarakat. Karena itu, tentu saja, peranan hukum dalam’masyarakat yang teratur seharusnya cukup penting. Tidak bisa dibayangkan betapa kaeaunya masyarakat jika hukurn tidak berperan. Masyarakat tanpa hukum akan merupakan segerombolan serigala, di mana yang kuat akan memangsa yang lemah, sebagaimana pernah disetir oleh ahli pikir terkemuka, yaitu Thomas Hobbes beberapa ratus tahun yang silam. Homo Homini Lupus. Dan, yang kalah bersaing dan fidak bisa beradaptasi dengan perkembangan alam akan tersisih dan dibiarkan tersisih, sebagaimana disebut oleh Charles Darwin dalam teori seleksi alamnya (natural selection), di mana yang kuat yang akan survive (the fittest of survival). Karena itu, intervensi hukurn untuk mengatur kekuasaan dan masyarakat merupakan conditio sine qua non (syarat mutlak), Dalam hal ini, hukum akan bertugas untuk mengatur dan membatasi bagaimana kekuasaan manusia tersebut dijalankan sehingga tidak menggilas orang’lain yang tidak punya kekuasaan.


BAB VII
Critical Legal Studies Menurut Roberto Unger

A. Kritik Terhadap Paham Formalisme dan Objektivisme
Ketika paham formalisme tidak menggantungkan diri pada unsur-unsur dlluar hukum apa yang mereka lakukan hanyalah melakukan analogl-analogi. Dengan demikian, apa yang.mereka sebut sebagai penalaran hukum (legal reasoning) hanyalah semacam permainan analogi saja yang tidak ada akhirnya. Padahal, hak-hak manusia dan masyarakat tidak layak untuk selamanya dipertahankan hanya dengan menggunakan analogi. Lihat saja, misalnya, bagaimana seorang mahasiswa hukum yang cerdas dengan mudah dapat membantah keputusan hukum.
Roberto Unger mengakui tentang adanya penjabaran dari pihak yang boleh dibilang konservatif terhadap kritik kaurn critical legal studies tentang formalisme. Menurut pihak konservatif tersebut, kritikan oleh kaurn critical legal studies tersebut hanya valid jika ditujukan terhadap konstruksi hukum yang sistematik dari para, ahli hukurn yang sangat ambisius.dan tidak valid jika ditujukan terhadap argumentasi yang khusus dan problem oriented dari pihak lawyer dan hakim dalarn praktek. Akan tetapi, menurut Unger, kritik kaum critical legal studies terhadap ajaran formalisme, ~sebenarnya juga dalam rarigka mempertahankan ajaran formalisnie dengan berbagai argumentasi, di samping,juga dalarn rangka menunjukkan bahwa tidak benar tindakan yang memisahkan antara penalaran hukum (legal reasoning) dan politik, ideologi, dan filsafat (Roberto Unger, .1986: 11).

B. Konsep – Konsep dari Aliran Critical Legal Studies
Telaahan dari para penganut aliran critical legal studies terhadap hukum juga ikut membicarakan antara peranan dari fakta (praktek) dan nilai (ide). Argumen konstruktif mereka, yakni dalarn bentuk program-program institutional dan pelaksanaan doktrin deviatidnist, menelaah hubungan antara praktek dan ide, yang selalu dipengaruhi oleh konflik sosial yang diaktualisasi dalarn bbrbagai bentuk eksperimen kolektif. Para penganut aliran critical legal studies menganalisis dengan kritis terhadap doktrindoktrin hukum dan tradisi hukurn yang ada yang mengikat manusia dan masyarakat. Menurut mereka, setiap tradisi penuh, dengan hal-hal yang ambiguitas, yang sangat memungkinkan timbul argumentasi alternatif yang bersifat persuasif.
Para pengritik memperbedakan antara fakta dan preskriptif (norma) sehingga mereka sampai pada pendapat tentang ketidaklayakan dasardasar sekular mengenai suatu putusan yang normatif., Dalam hal ini, peranan agama-agama dapat memperjelas duduk persoalan yang mengajarkan bahwa apa yang imperatif dilakukan dalam hidup adalah visi tentang kenyataan yang sebenarnya (ultimate reality). Para pengritik percaya bahwa tanpa adanya hubungan antara visi dan imperatif, akan sia-sialah dan tidak mempunyai dasar terhadap setiap usaha untuk mensakralkan setiap perintah yang mesti diikuti oleh manusia.

C. Program – program Institusional dari Aliran Critical Legal Studies
Para penganut aliran critical legal studies juga mengritik pandangan modern tentang organisasi pemerintahan. Sebab, menurut para penganut aliran critical legal studies tersebut bahwa setiap sarana untuk membatasi kekuasaan hegara, akan cenderung juga merugikan masyarakat. Karena itu, diperlukan suatu cara yang bersifat resolusi, di mana dapat terjadi pembatasan kekuasaan negara tanpa membatasi aktivitas negara yang bersifat transformatif.

Senin, 06 Juni 2011

TEORI HUKUM

BAB I
PENDAHULAUN


Masyarakat diajak untuk memasuki dromologi berpikir, yang aktualisasinya muncul melalui kritik, pembalikan pemikiran, bahkan penghancuran (dekonstruksi). pada pembahasan pertama dalam makalah ini, penulis ingin mencoba menjelaskan tentang Teori Hukum, apa dan bagaimana hubungannya dengan Dogmatik Hukum dan Filsafat Hukum.
Pada pembahasan kedua dalam makalah ini penulis menjelaskan tentang pokok-pokok pembahasan teori hukum murni, yang terdiri atas pengertian Teori Hukum Murni Hans Kelsen, serta perdebatan mengenai Teori ini di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut the pure theory of law mendapat tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mazhab hukum alam dan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai jalan tengah dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya.
Pada bagian ketiga dari makalah ini, penulis menjelaskan tentang perdebatan para ahli hukum seputar Struktur hukum, substansi hukum, dan Budaya Hukum, sebagaimana di kemukakan oleh L. Friedman, serta relevansi teori hukum ini pada tananan hukum di Indonesia. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), budaya hukum (legal culture)
Pada bagian keempat dari makalah ini, penulis menjelaskan perdebatan seputar Teori hukum responsif yang dikemukakan oleh Nonet dan Zelnick, serta perkembangannya apakah relevan dengan konteks di Indonesia. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Zelnick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Dan pada bagian kelima atau bagian terakhir dari makalah ini, penulis ingin menjelaskan tentang perkembangan Teori hukum Progresif di Indonesia sebagaiman dicetuskan oleh Sartjipto Raharjo. Hukum Progresif lahir di Indonesia akibat gagalnya reformasi yang terjadi di Indonesia dimana hal ini dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah institusi yang bertujuan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia.





















BAB II
PEMBAHASAN

A. TEORI HUKUM
a. Pengertian Teori Hukum
Menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Teori hukum merupakan disiplin mandiri yang perkembangannya dipengaruhi dan sangat terkait erat dengan ajaran hukum umum. Perkembangan definitif dari teori hukum menjadi sebuah disiplin pada paruh waktu kedua dari abad duapuluh diinspirasi oleh timbulnya ilmu ilmu baru atau cabang-cabang dari ilmu yang sudah ada, seperti informatika, logika deontik, kibernetika, sosiologi hukum, Etiologi (hukum) dan sejenisnya.
Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Menurut Bruggink, definisi di atas memiliki makna ganda, yaitu dapat berarti produk, yakni seluruh pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil dari kegiatan teoritik bidang hukum. Dalam arti proses, yaitu kegiatan teoritik tentang hukum atau pada dapat mengandung makna ganda lainnya, yaitu teori hukum dalam arti luas dan teori hukum dalam arti sempit. Dalam arti luas, berarti menunjuk kepada pemahaman tentang sifat berbgai bagian(cabang sub-disiplin) teori hukum, yaitu sosiologi hukum, berbicara tentang keberlakuan faktual atau keberlakuan empirik dari hukum. Teori hukum dalam arti sempit, berbicara tentang keberlakuan formal atau keberlakuan normatif dari hukum. Filsafat hukum berbicara tentang keberlakuan evaluatif dari hukum, terakhir adalah dogmatik hukum, atau ilmu hukum dalam arti sempit. Terhadap keempat kegiatan penelitian teoritik bidang hukum sendiri.

Disamping mengandung makna ganda diatas, teori hukum menurut Bruggink kajian diatas itu Bruggink menjelaskan bahwa teori hukum dalam arti luas itu terdiri atas bagian bagian apa saja, adalah masalah sulit sebab setiap penulis mengajukan pembagian sendiri dengan menggunakan definisi yang sesuai dengannya.
b. Hubungan Dogmatik Hukum dan Teori Hukum
Sebelum saya berbicara jauh atau melangkah jauh dalam membahas hubungan dogmatik hukum dan teori hukum, maka ada baiknya kita mengenal lebih dulu apa yang dimaksud dengan Dogmatik Hukum. Dogmatik hukum (rechtsleer) atau Dogmatik hukum (rechtdogmatiek), juga sering disebut sebagai ilmu hukum (rechtswetenschap), dalam arti sempit bertujuan untuk memaparkan dan mensistematisasi serta dalam arti tertentu juga menjelaskan (verklaren) hukum positif yang berlaku. Walaupun demikian dogmatik hukum itu bukanlah ilmu netral yang bebas nilai. Sehingga jika cermati hubungan dogmatik hukum dengan teori hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana dibawah ini :
a. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
b. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum
c. Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasidan sejenisnya lagi.

c. Hubungan Filsafat hukum dan teori hukum
Sebelum saya membahas lebih jauh tentang hubungan filsafat hukum dan teori hukum, maka saya ingin menjelaskan sedikit tentang pengertian daripada Filsafat Hukum. Filsafat hukum adalah filsafat umum yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-pertanyaan yang palingdalam dibahas dalam hubungannya dengan landasan, struktur, dan sejenisnya dari kenyataan. Menururt Jan Gijssels dan Mark van Hoecke filsafat hukum memiliki telaah sebagai berikut :
a. Ontologi hukum, penelitian tentang hakekat dari hukum, misalnya hakekat demokrasi, hubungan hukum dengan moral
b. Aksiologi hukum, penentuan isi dan nilai seperti kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan dan lain-lain.
c. Idiologi hukum (ajaran idea)
d. Epistemologi hukum (ajaran pengetahuan), bentuk metafilsafat
e. Teleologi Hukum, hal menetukan makna dan tujuan hukum
f. Ajaran ilmu dari hukum, meta teori dari ilmu hukum
g. Logika hukum.
Hubungan Filsafat Hukum dan Teori hukum
a. Jika Teori Hukum mewujudkan sebuah meta-teori berkenaan dengan dogmatik hukum, maka Filsafat Hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta-displin berkenaan dengan Teori Hukum.
b. Secara struktural Teori Hukum terhubungkan pada Filsafat Hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatik Hukum, terhadap Teori Hukum.
c. Filsafat Hukum merupakan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum.
d. Filsafat Hukum sebagai ajaran nilai dari Teori hukum dan Filsafat Hukum sebagai ajaran ilmu dari Teori Hukum.
e. Filsafat Hukum sebagai ajaran ilmu dari teori Hukum dan sebagai ajaran pengetahuan mewujudkan sebuah meta-disiplin berkenaan dengan Teori Hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh, mengingat Filsafat Hukum di sini mengambil sebagian dari kegiatan-kegiatan dan Teori Hukum itu sendiri sebagai objek studi.
Dari hal di atas dapatlah disimpulkan bahwa hubungan Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-displin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek(teori hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum. Dengan demikian maka Filsafat Hukum dapat bersifat rasional hanya atas dasar kriterianya sendiri, yang keberadaannya sendiri didiskusikan atau dapat didiskusikan. Sebaliknya teori hukum itu rasional (atau tidaknya harus berupaya untuk demikian) atas dasar kriteria umum, yang diterima setiap orang.
B. POKOK POKOK PEMBAHASAN TEORI HUKUM MURNI HANS KELSEN
a. Perkembangan Pemikiran Hans kelsen
Jika dilihat dari karya-karya yang dibuat oleh Hans Kelsen, pemikiran yang dikemukakan meliputi tiga masalah utama, yaitu tentang teori hukum, negara, dan hukum internasioanl. Ketiga masalah tersebut sesungguhnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya karena saling terkait dan dikembangkan secara konsisten dan dikembangkan secara konsisten secara logika hukum formal. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Kelsen meliputi dua aspek penting, yaitu hukum statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Dari asal usulnya, teori hukum murni merupakan suatu bentuk pemberontakan yang ditujukan terhadap Ilmu Hukum yang Ideologis, yaitu ajaran yang hanya mengembangkan hukum sebagai alat pemerintahan suatu rezim dari Negaranegara totaliter. Teori ini hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam bentuk peraturan-peraturan yang ada. Bagian lain dari teori Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm. Kecuali berfungsi sebagai dasar juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada didalam kawasan rejim grundnorm tersebut harus mengait kepadanya, oleh karena itu bisa juga dilihat sebagai induk yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama untuk setiap tata hukum.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan huikum murni, menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum analis denga tegas.
Friedman mengungkapkan dasar-dasar esensial dari pemikran Kelsen sebagai berikut :
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukanilmu alam
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yng spesifik. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Pendekatan yang dilakukan oleh Kelsen disebut the pure theory of law mendapat tempat tersendiri karena berbeda dengan dua kutub pendekatan yang berbeda antara mazhab hukum alam dan positivisme empiris. Beberapa ahli menyebut pemikiran Kelsen sebagai jalan tengah dari dua aliran hukum yang telah ada sebelumnya. Fokus utama teori hukum, menurut Hans Kelsen, bukanlah salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci.
Menurut Kelsen, Hukum adalah sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Empirisme hukum melihat hukum dapat direduksi sebagai fakta sosial. Sedangkan Kelsen berpendapat bahwa interpretasi hukum berhubungan dengan norma yang non empiris. Norma tersebut memeliki struktur yang membatasi interpretasi hukum. Disisi lain berbeda dengan mazhab hukum alam, Kelsen berpendapat bahwa hukum tidak dibatasi oleh pertimbangan moral.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu merupakan dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan dilaksanakan oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang menonjol pada teori Kelsen adalah paksanaan.
Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar (grundnorm). Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm (norma dasar).
Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. 42 Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, Jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah.
Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will). Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norm yang merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.teori tertentu yang dikembangkan ole kelsen dihasilkan dari analisis perbandingan sistem hukum positif yang berbeda-beda, membentuk konsep dasar yang yang dapat menggambarkan komunitas hukum. Masalah utama (subject matter) dalam teori umum adalah norma hukum (legal norm) elemen-elemen, hubungannya, tata hukum sebagai suatu kesatuan, strukturnya, hubungan antara tata hukum yang berbeda, dan akhirnya kesatuan hukum di dalam tata hukum positif yang plural.the pure theory of law menekankan pada pembedaan yang jelas antara hukum empiris dan keadilan transendental dengan mengeluarkannya dari ruang lingkup kajian hukum.
Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel Kant. Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.
Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus diikuti orang.
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa ia menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan tentang etika.
b. Penerapan Teori Hukum Murni Hans kelsen di Indonesia
Dengan masuknya kekuasaan Eropa ke Indonesia, masuk pulalah perkembangan pemikiran yang terjadi di Eropa. Terutama ketika orang-orang Indonesia diberi kesempatan untuk belajar/menempuh pendidikan di Eropa. Mahasiswa Indonesia yang membentuk Perhimpunan Indonesia (Indische Vereniging) berkenalan dengan elemen-elemen ideologi Aufklarung sebagai suatu ideologi sekuler yang terkait erat dengan perkembangan Rasionalisme, Empirisme, Idealisme dan Posistivisme. Orang Indonesia mulai mengenal ajaran mengenai hak-hak azasi, kemerdekaan, persamaan, demokrasi, republik, konstitusi, hukum, negara, dan masyarakat. Pemikir-pemikir seperti John Locke, Thomas Hobbes, Rousseeua, Voltaire, Imanuel Kant, Hans Kelsen, Hegel, Adam Smith dan Karl Marx mulai diketahui. Individualisme, Liberalisme, Kapitalisme, Sosialisme, dan Marxisme juga telah dialami.

Ajaran hukum Hans Kelsen terdiri dari dua konsep.

1. Ajaran hukum murni (Reine Rechtlehre)
Bahwa hukum itu harus dipisahkan dari sosiologis, moral, politis, historis, dan sebagainya. Hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai mahluk rasional. Baginya tidak mempersoalkan hukum itu dalam kenyataannya, tetapi mempersoalkan apa hukumnya. Bahkan dalam ajaran hukum murni ini menolak keadilan dijadikan pembahasan dalam ilmu hukum. Bagi Hans Kelsen keadilan adalah masalah ideologi yang ideal-irasional.
2. Stufenbau Thery
Ajaran ini pada mulanya dikemukakan oleh Adolf Merkl kemudian dipopulerkan oleh Hans Kelsen. Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma yang berbentuk piramida. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma semakin abstrak sifatnya, sebaliknya semakin rendah suatu norma semakin kongkrit sifatnya.

Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini yang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara. Teori Hukum Murni masih banyak dipakai di Indonesia, hal tersebut tercermin dengan masih diikutinya/diterapkannya beberapa pemikiran dari Hans Kelsen dalam sistem kehidupan secara yuridis. Dalam hubungan tugas hakim dan perundang-undangan masih terlihat pengaruh aliran Aliran Legis (pandangan Legalisme), yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan undang-undang secara tegas. Hakim hanya sekedar terompet undangundang dan selain itu juga dalam penerapan hukum oleh para Hakim masih terpaku peraturan perundang-undangan tertulis. Bahkan peraturan, perundang-undangan yang tertulis dianggap keramat oleh banyak Hakim di Indonesia.
Akan tetapi tidak semua sistem hukum nasional Indonesia secara bulat mengadopsi sistem hukum yang berkembanga di Eropa, walaupun sebagian besar hukum peninggalan kolonial Belanda masih tetap berlaku. teori hukum murni dalam perjalanannya tidak mampu menjelaskan keadaan hukum secara holistik, maka Satjipto Rahardjo meminjam Sosiologi Hukum sebagai alat bantu untuk menjelaskan persoalan tersebut. Penyebab utama gagalnya suatu teori disebabkan karena teori bersifat instruktif.

C. TEORI HUKUM L. FRIEDMAN

a. Perdebatan Para Ahli Hukum seputar Substansi Hukum, Struktur Hukum, dan Budaya Hukum
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Struktur Hukum yang kemudian dikembangkan di Indonesia terdiri dari :
1. Kehakiman (Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Pokok-pokok kekuasaan Kehakiman)
2. Kejaksaan (Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan)
3. Kepolisian (Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Kepolisian RI)
4. Advokat (Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat)
Struktur berhubungan dengan institusi dan kelembagaan hukum, bagaimana dengan polisinya, hakimnya, jaksa dan pengacaranya. Semua itu harus ditata dalam sebuah struktur yang sistemik. Kalau berbicara mengenai substansinya maka berbicara tentang bagaimana Undang-undangnya, apakah sudah perundang-undangannya. Dalam budaya hukum, pembicaraan difokuskan pada upaya-upaya untuk membentuk kesadaran hukum masyarakat, membentuk pemahaman masyarakat memenuhi rasa keadilan, tidak diskriminatif, responsif atau tidak. Jadi menata kembali materi peraturan terhadap hukum, dan memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat.
Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundangundangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer. Hukum dengan karakter yang demikian itu lebih dikenal dengan konsep hukum law as a tool of social engineering dari Roscoe Pound,, atau yang di dalam terminologi Mochtar Kusumaatmadja disebutkan sebagai hukum yang berfungsi seba-gai sarana untuk membantu perubahan masyarakat.
Pembangunan hukum mrupakan suatu tindakan politik, bukan hukum. Pembangunan hukum bukanlah pembangunan undang-undang, apalagi jumlah dan jenis undang-undang. Pembangunan hukum pun bukanlah hukum dalam arti positif, sebagai suatu tindakan politik, maka pembangunan hukum sedikit banyaknya akan bergantung pada kesungguhan aktor-aktor politik. Merekalah yang memegang kendali dalam menentukan arahnya, begitu juga corak dan materinya. Dari para politisilah lahir berbagai macam undang-undang. Secara formal kelembagaan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berada dijantung utama pembentukan hukum. Dari mereka inilah ide-ide sosial, ekonomi politik dibentuk dan atau diformulasikan secara normatif menjadi kaedah hukum.
Norma hukum hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Secondary rules yang dikonsepkan H.A.L Hart esensinya sama yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal hal yang berada diluar norma hukum positif model hart, memainkan peranan yang amat menetukan bagi kapasitas hukum positif. Walaupun norma-norma hukum yang terdapat dalam setiap undang-undang secara positif dianggap merupaka panduan nilai dan orientasi dari setiap orang, akan tetapi secara empiris selalu saja ada cacatcelahnya.perilaku orang selalu tidak sejalan dengan dengan norma-norma yang ada dalam undang-undang. Penyebabnya sangat beragam, salah satunya adalah norma-norma itu tidak sejalan dengan orientasi dan mimpi mereka. Itu sebabnya sebagian ahli hukum mengatakan bahwa kehidupan hukum lebih merupakan sebuah mitos, bahkan kepastian hukum dan kemanfaatan hukum hanyalah mitos yang indah.
Substansi hukum bukanlah sesuatu yang mudah direncanakan, bahkan hal ini dapat dianggap sebagai perkara yang sulit, namun bukan karena kesulitan itulah sehingga substansi hukum perlu direncankan, melainkan substansi hukum juga sangat tergantung pada bidang apakah yang hendak diatur. Perlu pula dperhatikan perkembangan sosial, ekonomi dan politik, termasuk perkembangan-perkembangan ditingkat global yang semuanya sulit diprediksi. Sikap politik yang paling pantas untuk diambil adalah meletakan atau menggariskan prinsip-prinsip pengembangannya. Sebatas inilah blue printnya. Untuk itu maka gagasan dasar yang terdapat dalam UUD 1945 itulah yang harus dijadikan prinsip-prinsip atau parameter dalam pembentukan undang-undang apa saja, kesetaraan antar lembaga negara, hubungan yang bersifat demokratis antara pemerintah pusat dengan daerah, hak asasi manusia (HAM) yang meliputi hak sosial, ekonomi, hukum, dan pembangunan harus dijadikan sumber sekaligus parameter dalam menguji substansi RUU atau UU yang akan dibentuk.
Berkaitan dengan budaya hukum (legal culture) ini, menurut Roger Cotterrell, konsep budaya hukum itu menjelaskan keanekaragaman ide tentang hukum yang ada dalam berbagai masyarakat dan posisinya dalam tatanan sosial. Ide-ide ini menjelaskan tentang praktik-praktik hukum, sikap warga negara terhadap hukum dan kemauan dan ketidakmauannya untuk mengajukan perkara, dan signifikansi hukum yang relatif, dalam menjelaskan pemikiran dan perilaku yang lebih luas di luar praktik dan bentuk diskursus khusus yang terkait dengan lembaga hukum. Dengan demikian, variasi budaya hukum mungkin mampu menjelaskan banyak tentang perbedaan-perbedaan cara di mana lembaga hukum yang nampak sama dapat berfungsi pada masyarakat yang berbeda.
Aspek kultural menurut Friedman melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya.
Menurut Friedman budaya hukum diterjemahkan sebagai sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan hukum dan lembaganya, baik secara positif, maupun negatif. Jika masyarakat mempunyai nilai nilai yang positif, maka hukum akan diterima dengan baik, sebaliknya jika negatif, masyarakat akan menentang dan menjauhi hukum dan bahkan menganggap hukum tidak ada.membentuk undang-undang memang merupakan budaya hukum. Tetapi mengandalakan undang-undang untuk membangun budaya hukum yang berkarakter tunduk, patuh dan terikat pada norma hukum adalah jala pikiran yang setengah sesat. Budaya hukum bukanlah hukum. Budaya hukum secara konseptual adalah soal-soal yang ada di luar hukum.

D. TEORI HUKUM RESPONSIF
a. Sejarah Pemikiran Teori Responsif
Lahirnya teori hukum ini dilatararbelakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyagunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup untuk mengatasi keadaan tersebut. Di tengah rangkaian kritik atas realitas krisis otooritas hukum itulah, Nonet-Zelnick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif (berorientasikan tujuan), sepertinya Roscou Pound, para penganut paham realisme hukum dan kritikus-kritikus kontemporer.
Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Zelnick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). diantara ketiga tipe tersebut, Nonet dan Zelnick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan terteb kelembagaan yang langgeng dan stabil. Nonet dan Zelnick lewat hukum Responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi sosial. Menyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sosiological juurisprudence dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut pada intinya menyatakan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasaan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Apa yang dipikrkan oleh Nonet dan Zelnick, menurut Prof. Satjipto Raharjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analitical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di pihak lain. Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibat-akibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.
Apa yang dikatakan Nonet dan Zelnick itu, sebetulnya ingin mengkritik model analitical jurisprudence atau rechtdogmatic yang hanya berkutat di dalam sisten aturan hukum positif. Model yang mereka sebut dengan tipe hukum otonom. Hukum responsif sebaliknya pemahaman mengenai hukum melapaui peraturan atau teks-teks dokumen dan looking towards pada hasil akhir, akibat, dan manfaat dari hukum itu. Analitical yurisprudence berkutat didalam sistem hukum positif dan ini dekat dengan tipe hukum otonom pada Nonet. Baik aliran analistis maupun Nonet melalui tipe hukum responsifnya menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat. Teori hukum responsif adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis, teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum tidak hanya rules (logic&rules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat langsung dalam proses penegakan hukum, mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat untuk bisa membebaskan diri dari belenggu hukum murni yang kakuh dan analistis. Produk hukum yang berkarekter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partsipasi semua elemen masyarakat, baik ari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat. Seperti diungkapkan oleh Edwin M. Schur, sekalipun hukum itu nampak sebagai perangkat norma-norma hukum, tetapi hukum merupakan hasil dari suatu proses sosial, sebab hukum dibuat dan dirubah oleh usaha manusia dan hukum itu senantiasa berada di dalam keadaan yang berubah pula.
Menurut catatan Nonet dan Zelnick masa dua puluh tahun terakhir merupakan masa bangkitnya kembalai ketertarikan persoalan-persoalan dalam institusi-institusi hukum, yaitu bagaimana institusi-institusi hukum bekerja, berbagai kekuatan yang mempengaruhinya, serta berbagai keterbatasan dan kemampuannya. Sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, paradilan, penyelenggara keamanan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Kebangkitan ini mereflesikan dorongan akademik bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial berlaku pula unutk analisis atas institusi hukum maupun semangat pembaharuan.
Dalam konteks itulah, hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik. Ilmu hukum selalu lebih dari sekedar bidang akademik yang dpahami oleh hanya segelintir orang. Teori hukum tidaklah buta terhadap konsekuensi sosial dan tidak pula kebal dari pengaruh sosial. Ilmu hukum memperoleh fokus dan kedalaman, ketika ia secara sadar mempertimbangkan implikasi-implikasi yang dimilikinya untuk tindakan atau perencanaan kelembagaan. Menurut Nonet dan Zelnick, untuk membuat ilmu hukum lebih relevan dan lebih hidup, harus ada reintegrasi antara teori hukum, teori politik, dan teori sosial. Teori Pound mengenai keseimbangan kepentingan-kepentingan sosial, merupakan sebuah usaha yang lebih eksplisit untuk mengembangkan sebuah model hukum responsif itu.
b. Teori Hukum Responsif Dalam Konteks Hukum di Indonesia
Di era reformasi sekarang ini yang sudah berjalan lebih dari satu dekade hukum responsif masih dalam proses. Membutuhkan waktu lama agar hukum responsif dapat dijalankan sesuai dengan sebenar- benarnya sehingga demokrasi yang hakiki dapat terwujud demi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Substansi hukum dalam wujudnya sebagai peraturan perundang- undangan, telah diterima sebagai instrumen resmi yang memeproleh aspirasi untuk dikembangkan, yang diorientasikan secara pragmatis untuk menghadapi masalah-masalah sosial yang kontemporer.
Di Indonesia belum siap untuk menerapkan hukum responsif yang sesungguhnya karena krisis hukum yang terjadi sudah terlanjur dalam, aksi massa sudah sangat sulit dikendalikan baik dengan cara yang represif ataupun responsif sekalipun. Luapan rasa kebebasan yang selama orde baru terkekang dan mencapai titik kejenuhan akhirnya keluar dan meledak. Adalah hal yang wajar dalam waktu awal suatu rezim terjadi pergolakan, karena banyak yang kecewa dengan rezim yang sebelumnya. Setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendiri-sendiri yang pada intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran sehingga sangat mungkin akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintahpun juga belum mampu mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif.
Cita-cita reformasi yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat madani selalu mengalami kendala baik dari dalam ataupun dari luar. Dapat kita lihat intervensi asing dalam dunia usaha di Indonesia begitu mendominasi, sehingga setiap produk hukum baik itu Undang-undang, Perpu, Perda dan produk hukum yang lain selalu berpihak pada pihak asing. Karena pemerintah belum berani meninggalkan campur tangan asing, mungkin rasa ketergantunagn tersebut sudah terlanjur mendalam.
Reformasi di negera kita seakan berjalan ditempat, bahkan ada yang mengatakan lebih parah sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo : “Rupanya reformasi sudah mulai menukik terlalu dalam sehingga tidak hanya sampai akar rumput, tetapi didibaratkan akuarium. Maka pasir dan kotoran ikut terobok-obok sampai ke permuakaan. Akuarium menjadi keruh”. Sangat menarik kiasan yang diutarakan oleh beliau, memang benar adanya bahwa saat ini Negara kita sudah walaupun reformasi sudah berjalan satu decade namun kondisi bangsa kita malah jauh lebih buruk dari sebelemunya (masa orde baru). Bukan pada hal-hal yang sifatnya umum (general) saja yang mengalami kemerosotan, tapi juga hal-hal yang sifatnya urgen seperti ideology, produk hukum berserta aparat penegaknya ataupun lembaga Negara baik ekskutif, yudikatif ataupun legeslatif juga sudah amburadul, inilah yang mungin disbutkan Satjipto Rahardjo sebagai akuarium.
Khusus bagi lembaga yudikatif saat ini kondisinya semakin memprihatinkan, seolah-olah hukum hanya berpihak pada mereka-mereka yang berkompeten di dalamnya, termasuk pihak swasta sebagai pengusaha yang notabe-nya telah dikuasai pihak asing, yang juga ikut dalam pembuatan produk hukum tersebut. Yang terjadi saat ini adalah kekerasan dan premanisme di mana-mana, hal ini terjadi karena kekuasaan dikendalikan oleh para intelektual-intelektual semu yang berkultur preman dan sebenarnya tidak memiliki kompetensi untuk menjadi penguasa. Mereka hanya mementingkan diri sendiri dan segelintir orang di sekitarnya.
Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa saat ini yang harus dilakukan untuk membantu terwujudnya reformasi salah satunya adalah memunculkan atau mengangkat orang-orang baik yang memiliki mentalitas dan kualitas yang terpuji. Seberanya mereka pernah menjadi bagian dari penguasa, namun mereka tersisih karena mereka tidak bisa bermain menurut kultur preman yang dimiliki oleh punguasa kita saat ini. Masih banyak orang-orang baik di negera kita, oleh jarena itu marilah kita bersatu memunculkan dan mengangkat mereka dan menolak massa permanisme. Mudah-mudahan dengan munculnya mereka ke pemerintahan yang berbekal mentalitas dan kualitas yang terpuji dapat membawa kebangkitan kembali Indonesia.
E. TEORI HUKUM PROGRESIF
a. Sejarah Pemikiran Hukum Progresif
Sejarah konfigurasi politik di Indonesia memperlihatkan adanya pasang surut dan naik pasang secara bergantian antara demokratis dan otoriter. Dengan logika pembangunan ekonomi yang menjadi prioritas utamanya, periode Orde Baru menampilkan watak otoriter-birokratis. Orde baru tampil sebagai Negara kuat yang mengatasi berbagai kekuatan yang ada dalam masyarakat dan berwatak intervensionis. Dalam konfigurasi demikian hak-hak politik rakyat mendapat tekanan atau pembatasan-pemabatasan.
Agenda reformasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Menurut Hakim Agung Abdul Rachman Saleh, rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh para hakim itu tidak mudah. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas.
Dalam diskursus pemikiran hukum di Indonesia, label tentang "hukum progresif" sudah sangat sering terdengar. Salah satu faktor dari cepatnya penyebaran gaung tersebut tidak lain karena memang eksponen utamanya, yakni Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., adalah seorang kolumnis yang sangat produktif. Produktivitas Pak Tjip (demikian panggilan akrab untuk beliau), tampaknya berangkat dari motto hidupnya sebagai intelektual, yakni seorang intelektual adalah orang yang berpikir dengan tangannya. Faktor lain yang mempopulerkan hukum progresif adalah munculnya sekelompok orang-orang muda yang "tergoda" dengan corak berpikir di luar arus utama (mainstream) seperti diajukan Pak Tjip. Berkat semangat dan bantuan orang-orang muda inilah karya-karya lama Pak Tjip itu dapat dikompilasi dan dikemas ulang untuk kemudian disajikan kembali kepada para pemerhati dan pegiat hukum di Tanah Air.
Salah satu dari sekian banyak idenya tentang hukum adalah apa yang disebut pemikiran hukum progresif , yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu. Proses pemaknaan itu digambarkannya sebagai sebuah proses pendewasaan sekaligus pematangan, sebagaimana sejarah melalui periodesasi ilmu memperlihatkan runtuh dan bangunnya sebuah teori, yang dalam terrminologi kuhn disebut sebagai “lompatan paradigmatik”
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh petugas hukum/hakim.
Menurut Pak Tjip, semua aspek yang berhubungan dengan hukum progresif dapat dipadatkan ke dalam konsep progresivisme. Ada beberapa kata kunci yang layak untuk diperhatikan tatkala kita ingin mengangkat pengertian progresivisme itu. Kata-kata kunci tersebut dapat pula ditempatkan sebagai postulat yang melekat pada pemikiran hukum progresif. Kata-kata kunci tersebut antara lain adalah:

1. Hukum progresif itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Pada hakikatnya setiap manusia itu baik, sehingga sifat ini layak menjadi modal dalam membangun kehidupan berhukumnya. Hukum bukan raja (segalanya), tetapi sekadar alat bagi manusia untuk memberi rahmat kepada dunia dan kemanusiaan. Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan lebih besar. Maka, setiap ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau serta diperbaiki, bukan manusia yang dipaksapaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum.
2. Hukum progresif itu harus pro-rakyat dan pro-keadilan. Hukum itu harus berpihak kepada rakyat. Keadilan harus didudukkan di atas peraturan. Para penegak hukum harus berani menerobos kekakuan teks peraturan (diistilahkan sebagai "mobilisasi hukum" jika memang teks itu mencederai rasa keadilan rakyat. Prinsip pro-rakyat dan pro-keadilan ini merupakan ukuran-ukuran untuk menghindari agar progresivisme ini tidak mengalami kemerosotan, penyelewengan, penyalahgunaan, dan hal negatif lainnya.
3. Hukum progresif bertujuan mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan. Hukum harus memiliki tujuan lebih jauh daripada yang diajukan oleh falsafah liberal. Pada falsafah pascaliberal, hukum harus mensejahterakan dan membahagiakan. Hal ini juga sejalan dengan cara pandang orang Timur yang memberikan pengutamaan pada kebahagiaan.
4. Hukum progresif selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making). Hukum bukan institusi yang final, melainkan ditentukan oleh kemampuannya mengabdi kepada manusia. Ia terus-menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Setiap tahap dalam perjalanan hukum adalah putusan-putusan yang dibuat guna mencapai ideal hukum, baik yang dilakukan legislatif, yudikatif, maupun eksekutif. Setiap putusan bersifat terminal menuju kepada putusan berikutnya yang lebih baik. Hukum tidak pernah bisa meminggirkan sama sekali kekuatankekuatan otonom masyarakat untuk mengatur ketertibannya sendiri. Kekuatankekuatan tersebut akan selalu ada, sekalipun dalam bentuk terpendam (laten). Pada saat-saat tertentu ia akan muncul dan mengambil alih pekerjaan yang tidak bisa diselesaikan dengan baik oleh hukum negara. Maka, sebaiknya memang hukum itu dibiarkan mengalir saja.
5. Hukum progresif menekankan hidup baik sebagai dasar hukum yang baik. Dasar hukum terletak pada perilaku bangsanya sendiri karena perilaku bangsa itulah yang menentukan kualitas berhukum bangsa tersebut. Fundamen hukum tidak terletak pada bahan hukum (legal stuff), sistem hukum, berpikir hukum, dan sebagainya, melainkan lebih pada manusia atau perilaku manusia. Di tangan perilaku buru, sistem hukum akan menjadi rusak, tetapi tidak di tangan orangorang dengan perilaku baik.
6. Hukum progresif memiliki tipe responsif. Dalam tipe responsif, hukum akan
selalu dikaitkan pada tujuan-tujuan di luar narasi tekstual hukum itu sendiri, yang disebut oleh Nonet dan Selznick sebagai "the souverignity of purpose". Pendapat ini sekaligus mengritik doktrin due process of law. Tipe responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tidak dapat digugat.
7. Hukum progersif membangun negara hukum yang berhatinurani. Dalam bernegara hukum, yang utama adalah kultur, "the cultural primacy." Kultur yang dimaksud adalah kultur pembahagiaan rakyat. Keadaan tersebut dapat dicapai apabila kita tidak berkutat pada "the legal structure of the state" melainkan harus lebih mengutamakan "a state with conscience". Dalam bentuk pertanyaan, hal tersebut akan berbunyi: "bernegara hukum untuk apa?" dan dijawab dengan: "bernegara untuk membahagiakan rakyat."


8. Hukum progresif itu merobohkan, mengganti, dan membebaskan. Hukum progresif menolak sikap status quo dan submisif. Sikap status quo menyebabkan kita tidak berani melakukan perubahan dan menganggap doktrin sebagai sesuatu yang mutlak untuk dilaksanakan. Sikap demikian hanya merujuk kepada maksim "rakyat untuk hukum".
Hukum progresif menganggap bahwa keadilan tidak hanya di pengadilan,tapi ada dimana-mana,dan itu kelebihan utama dari pemikiran hukum progresif. Anggapan ini bisa menjerumuskan jika diartikan secara artifisial dan tidak bertanggung jawab,sebab pemberian diskresi yang berlebihan akan menyebabkan hukum akan kehilangan fungsinya sebagai kontrol sosial. Hukum tidak dapat lagi mengatur masyarakat karena penafsiran yang bebas terhadap keadilan, maka jadilah suatu struktur sosial kembali pada hukum rimba, siapa kuat dia yang menang karena aturan bersifat fleksibel.
Penegakan hukum berdasarkan perubahan dalam masyarakat juga bisa berakibat pada sulitnya keteraturan itu diciptakan, sebab masyarakat selain mempunyai sifat selalu berubah juga terbentuk dari banyak identitas dan unsur serta bersifat majemuk tentang pemahaman keadilan. Kondisi ini akan melahirkan hukum yang bisa mengakibatkan ketimpangan, juga karena hukum berlaku adalah kehendak mayoritas, maka akan terjadi diskriminasi terhadap kelompok minoritas.









BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Menurut J.J.H. Bruggink, teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. hubungan dogmatik hukum dengan teori hukum tidak saling tumpang tindih, melainkan satu sama lain memiliki telaah sendiri-sendiri (mandiri), sebagaimana dibawah ini :
a. Dogmatik hukum mempelajari aturan-aturan hukum itu dari suatu sudut pandang teknikal (walaupun tidak a-normatif), maka teori hukum merupakan refleksi terhadap teknik hukum ini.
b. Dogmatik hukum berbicara tentang hukum. Teori hukum berbicara tentang cara yang dengannya ilmuwan hukum berbicara tentang hukum.
c. Dogmatik hukum mencoba lewat teknik-teknik interpretasi tertentu menerapkan teks undang-undang yang pada pandangan pertama tidak mengajukan pertanyaan tentang dapat digunakannya teknik-teknik interpretasi, tentang sifat memaksa secara logikal dari penalaran interpretasidan sejenisnya lagi.
Teori Hukum dan Filsafat Hukum dapat dirangkum sebagai sebuah hubungan meta-displin (filsafat hukum) terhadap disiplin objek(teori hukum), dan terkait pada Filsafat Hukum secara esensial mewujudkan suatu pemikiran spekulatif sedangkan Teori Hukum mengupayakan suatu pendekatan ilmiah-positif terhadap gejala hukum.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian hukum dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif. Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu perintah.
Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen sistem hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure) merupakan kerangka, bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. komponen substansi hukum (legal substance) merupakan aturan-aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun, dan komponen budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.
Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Hukum tidak hanya rules (logic&rules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial.
Hukum responsif menurut Nonet dan Zelnick merupakan suatu upaya dalam menjawab tantangan untuk melakukan sintesis antara ilmu hukum dan ilmu sosial. Menurut mereka, suatu sintesis dapat dicapai bila kajian tentang pengalaman hukum menemukan kembali persambungannya denga ilmu hukum klasik yang sifatnya lebih intelektual akademik
Salah satu dari sekian banyak ide Sartjipto Raharjo adalah tentang hukum adalah apa yang disebut pemikiran hukum progresif , yaitu semacam refleksi dari perjalanan inteletualnya selama menjadi musafir ilmu. Esensi utama pemikirannya, berangkat dari konsep bahwa hukum bukan sebagai sebuah produk yang selesai ketika diundangkan atau hukum tidak selesai ketika tertera menjadi kalimat yang rapih dan bagus, tetapi melalui proses pemaknaan yang tidak pernah berhenti maka hukum akan menampilkan jati dirinya yaitu sebagai sebuah ilmu.
Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya angka 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Karena keadilan sesungguhnya terdapat dibalik sesuatu yang tampak dalam angka tersebut (metafisis), terumus secara filosofis oleh hakim.
























DAFTAR PUSTAKA

Buku
Arinanto Satya , Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Univesitas Indonesia, Jakarta, 2008
Assiddiqie Jimly &M Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum Sekretariat Jenderal & kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006
Ayyub Andi Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006
Dimyati Khudzaifah , Teorisasi Hukum, Muhamadiyah Press, Surakarta, 2004
Friedman L, Teori dan Filsafat hukum: Telaah kritis atasi Teori-Teori Hukum (susunann I), judul asli Legal Theory, penerjemah: Mohammad Arifin, Cetakan kedua, (Jakarta,PT Raja Grafindo Persada 1993)
Friedman Lawrence M, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc
Kusumaatmadja, 1986, Fungsi dan Perkem-bangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Binacipta
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009
Manan Bagir, Teori dan Politik Konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang‐undangan; Dasar‐Dasar dan Pembentukannya, Sekretariat KIH – UI, Jakarta, 1996, hal. 28. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russell & Russell, 1945

Nonet Philippe & Philip Zelnick, Law and Society in Transition:Toward Tanggapanive Law, London:Harper and Row Publisher, 1978
Pound Roscoe , 1989, Pengantar Filsafat Hukum, Jakar-ta: Bhratara, hal. 51. Mochtar
Rahardjo Satjipto , Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, Makalah pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN, Jakarta
Raharjo Satjipto , hukum progresif (penjelajak suatu gagasan) makalah disamapaikan pada acara jumpa Alumni Program Doktor Ilmu Hukum Undip Semaraang, tanggal 4 september 2004
Raharjo Sartjipto , Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1980.
Rahardjo Satjipto dalam Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, & Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi (Surabaya: Kita, 2006)
Rahardjo Satjipto , Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009)
Rahardjo Satjipto , Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2006)
Rahardjo Satjipto , Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007)
Rahardjo Satjipto , Hukum dan Perilaku: Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009)
Rahardjo Satjipto , Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009
Roger Cotterrell, 1984, The Sociology of Law An Introduction, London: Butterworths
Rahardjo Satjipto , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cet.6
Salman Otje S &Anton Susanto, Teori Hukum (mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali) PT Rafika Aditama, Bandung, 2010
Artikel
Artikel Utama, Jurnal Keadilan,Vol. 2 No. 1 Tahun 2002
Internet
www.setneg.go.id arah pemikiranpembangunan hukum pasca Perubahan UUD 1945