Senin, 23 Mei 2011

ELABORASI PARA AHLI TENTANG ANTROPOLOGI HUKUM

ELABORASI PARA AHLI TENTANG ANTROPOLOGI HUKUM



Pengertian Antropologi Hukum

William A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
David Hunter:Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Hukum adalah Keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat, juga meliputi lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan kaidah tersebut dalam masyarakat. (Prof SoedknoMertokusumo)
Hukum adalah Keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi. (Mohtar Kusumatmaja)
Pengertian antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusai dengan kebudayan yang khusus di bidang hukum. Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan hukum adalah yang menyangkut aspek-aspek hukum, aspek-aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat untuk mengatur anggota-anggota masyarakat agar tidak melanggar kaidah-kaidah sosial yang telah ditetapkan oleh masyarakat bersangkutan.
Pokok Pembahasan

Dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah subdisiplin ilmu hukum empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi studihukum dengan menggunakan pendekatan antropologis. Kendati demikian, darisudut pandang antropologi, sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskankajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum dalam masyarakat secaraluas dikenal sebagai antropologi hukum.
Antropologi hukum pada dasarnyamempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomenasosial secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsidalam kehidupan masyarakat, atau bagaimana hokum bekerja sebagai alatpengendalian sosial ( social control ) atau sarana untuk menjaga keteraturansosial ( social order ) dalam masyarakat. Dengan kata lain, studi-studiantropologis mengenai hokum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaanmanusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagaisarana menjaga keteraturan sosial atau alat pengendalian social.
Awal pemikiran antropologis tentang hukum dimulai dengan studi-studiyang dilakukan oleh kalangan ahli antropologi dan bukan dari kalangan sarjanahukum. Awal kelahiran antropologi hukum biasanya dikaitkan dengan karyaklasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient Law yang diterbitkan pertamakali pada tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi antropologistentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik (the evolusionistic theory)mengenai masyarakat dan hukum, yang secara ringkas menyatakan: hukumberkembang seiring dan sejalan dengan perkembangan masyarakat, darimasyarakat yang sederhana ( primitive ), tradisional, dan kesukuan (tribal) kemasyarakat yang kompleks dan modern, dan hukum yang inherent dengan masyarakat semula menekankan pada status kemudian wujudnya berkembangke bentuk kontrak (Nader, 1965; Roberts, 1979; Krygier, 1980; Snyder, 1981).
Pada awal abad ke-20 metode kajian hukum dari belakang meja mulai ditinggalkan, dan mulai memasuki perkembangan metode studi lapangan(fieldwork methodology ) dalam studi-studi antropologis tentang hukum. KaryaBarton, misalnya yang berjudul Ifugao Law yang dipublikasikan pertama kalipada tahun 1919 merupakan hasil dari fieldwork yang intensif dalam masyarakatsuku Ifugao di Pulau Luzon Philipina. Kemudian, muncul karya Malinowskiberjudul Crime and Custom in Savage Society yang pertama kali dipublikasikanpada tahun 1926 adalah hasil studi lapangan yang komprehensif dalammasyarakat suku Trobrian di kawasan Lautan Pasific, dan seterusnya sampaisekarang metode fieldwork menjadi metode khas dalam studi-studi antropologihukum.
Studi-studi antropologis tentang hukum sebagai sarana pengendalian sosial (social control) di berbagai komunitas masyarakat di berbagai belahan dunia ini, yang dilakukan oleh kalangan ahli antropologi, telah memberi kontribusi yang sangat penting dan bermakna dalam pengembangan konsep dan pemahaman mengenai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini karena para ahli antropologi mempelajari hukum bukan semata-semata sebagai produk dari hasil abstraksi logika sekelompok orang yang diformulasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan semata, tetapi lebih mempelajari hukum sebagai perilaku dan proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat.
Hukum dalam perspektif antropologi dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan karena itu hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial, dll. (Pospisil, 1971); atau hukum dipelajari sebagai proses sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat (Moore, 1978). Karena itu, hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh Negara (state law), tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat (customary law/folk law), termasuk pula di dalamnya mekanisme-mekansime pengaturan dalam masyarakat (self regulation) yang juga berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial (legal order).
Studi-studi antropologis mengenai hukum diawali dengan munculnya pertanyaanpertanyaan mendasar : apakah hukum itu ?; dan apakah hukum itu terdapat dalam setiap bentuk masyarakat ? (Nader, 1965:4; Bohannan, 1967:4; Hoebel, 1967:187; Roberts, 1979:17). Untuk menjawab pertanyaan di atas menjadi menarik untuk mengungkapkan diskusi dari dua ahli antropologi ternama, yaitu A.R. Radcliffe-Brown dan Bronislaw Malinowski, yang memberikan pandangannya masing-masing mengenai hukum, sebagaimana diuraikan dalam Nader (1965:4-5); Koentjaraningrat (1989:28-9); Moore (1978:218-223) seperti berikut :
1. Di satu sisi, hukum dalam pandangan Radcliffe-Brown adalah suatu system pengendalian sosial yang hanya muncul dalam kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan Negara, karena hanya dalam suatu organisasi sosial seperti Negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi, pengadilan, penjara dll. sebagai alat-alat Negara yang mutlak harus ada untuk menjaga keteraturan social dalam masyarakat. Karena itu, dalam masyarakat-masyarakat bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu Negara tidak mempunyai hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut diatur dandijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-spontan(automatic-spontaneous submission to tradition).
2. Di sisi lain, Malinowski berpendapat bahwa hukum tidak semata-mata terdapat dalam masyarakat yang terorganisasi suatu Negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial (legal order) terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam kehidupan masyarakat bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang bersifat otomatis-spontan, seperti dikatakan Radcliffe-Brown, tetapi karena adanya prinsip timbal-balik (principle of reciprocity) dan prinsip publisitas (principle of publicity). Sistem pertukaran sosial yang berkembang dalam masyarakat Trobriand menjadi pengikat sosial dan daya dinamis yang menggerakkan kehidupan ekonomi dan social masyarakat melalui prinsip resiprositas atau timbal-balik dalam bentuk pertukaran benda dan tenaga, menggerakkan hubungan-hubungan ekonomi, pertukaran jasa antar kerabat, menggerakkan kehidupan kekerabatan, sistem pertukaran mas kawin, dan juga menggerakkan hubungan antar kelompok dalam bentuk upacara-upacara yang berlangsung dalam kehidupan bersama.
Wacana antropologis mengenai hukum dalam perkembangan selanjutnya memperoleh elaborasi dari kalangan antropolog yang lain. Konsep hukum yang dikemukakan Malinowski memperoleh komentar dan kritik dari Bohannan (1967:45-9), yang pada pokoknya menyatakan seperti berikut :
1. Mekanisme resiprositas (reciprocity) dan publisitas (publicity) sebagai kriteria untuk mengatur hak dan kewajiban dalam kehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan hukum seperti dimaksudkan Malinowski, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.
2. Pengertian Hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan (custom), atau lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan hukum yang mencerminkan tingkah laku yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan, kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadangkala kebiasaan bisa sama dan sesuai dengan peraturan-peraturan hukum, tetapi kebiasaan bisa juga bertentangan dengan norma-norma hukum. Ini berarti, peraturan hukum dan kebiasaan adalah dua institusi yang sama-sama terwujud dalam bentuk norma-norma yang mengatur perilaku masyarakat dalam hubungan antar individu, dan juga sama-sama berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial dalam kehidupan masyarakat.
3. Kendatipun kebiasaan dan peraturan hukum saling berbeda satu sama lain, karena kebiasaan terwujud sebagai institusi non hukum dan peraturan merupakan institusi hukum, tetapi dalam masyarakat selalu ditemukan kedua bentuk institusi tersebut (institusi hukum dan institusi non hukum). Norma-norma hukum dalam masyarakat cenderung mengabaikan atau menggusur atau bahkan sebaliknya memfungsikan keberadaan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi non hukum dalam penyelesaian kasus-kasus sengketa yang terjadi dalam masyarakat.
4. Peraturan-peraturan hukum juga mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sebagai institusi hukum melalui proses pelembagaan ulang (reinstitutionalized) dan dinyatakan ulang (restated), sehingga peraturan hukum juga dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang telah dilembagakan kembali untuk tujuan-tujuan yang ingin dicapai hokum tersebut.
Ruang Lingkup
Membangun budaya hukum
Apa relasi antara budaya dengan hukum positif. Menurut saya pribadi hukum yang berlaku untuk mengatur ketertiban masyarakat adalah visualisasi dari suatu kebudayaan. Namun masalah timbul ketika hukum tidak mencerminkan kebudayaan dari masyarakat yang diatur oleh hukum tersebut. Dengan demikian hukum selanjutnya mencerminkan visualisasi semu dari budaya masyarakat tersebut. Inilah yang terjadi di masyarakat kita.
Kita masih melihat masyarakat kita dan mungkin kita sendiri yang cenderung tidak tertib dan suka melanggar hukum. Jika kita melihat realitas masyarakat yang sangat jauh dari cita-cita hukum itu, pasti ada yang salah dari budaya kita. Dalam bahasa awam, budaya itu adalah pandangan filosofis mengenai apa yang dipercayai dan diyakini sebagai sesuatu yang baik dan harus dijaga.
Jika kita selama ini mendapati tipe kebudayaan yang penuh dengan kepura-puraan, kebudayaan yang tidak menghormati hukum, kebudayaan yang selalu ingin untung dan berorientasi kepada materi maka harus kita akui kebudayaan kita tidak baik. Perlu memang kita melakukan reorientasi budaya ini dengan merubah paradigma (cara berfikir kita). Dan ada baiknya jika kita mencoba untuk berorientasi kepada hukum dan prosedur yang telah ada.
Hukum tidak diciptakan untuk dilanggar. Hukum diciptakan manusia untuk memperbaiki kualitas hidup manusia sebagai makhluk sosial (karena mungkin, hukum tidak perlu ada jika manusia di dunia ini hanya satu). Berorietasi kepada peraturan ibaratnya menata ulang lagi sirkuit robot yang mengatur proses berfikirnya. Ini hanya gambaran yang ekstrem karena robot itu gampang sekali diprogram, hingga dia akan selalu taat pada prosedur yang berlaku bagi dia. Manusia tentu bukan robot, karena manusia memiliki kreatifitas dan diskresi yang lebih luas dalam menentukan jalan hidupnya. Dan memang perlu waktu yang panjang untuk mengubah budaya masyarakat kita, karena budaya itu telah lama berada dalam sirkuit otak manusia. Sekelumit point yang mungkin perlu untuk membangun budaya hukum atau membuat hukum lebih bertenaga (empowerment hukum) di masyarakat antara lain:
1. Melihat hukum sebagai causa (penyebab) dengan ini maka hukum diciptakan untuk mengubah masyarakat untuk menjadi lebih baik. Dengan demikian hukum akan dilihat sebagai suatu mekanisme untuk melakukan perubahan.
2. Melihat hukum positif dalam perpektif agama sebagai sesuatu yang baik dan harus ditaati. Dengan ini kita tidak menganggap hukum yang berlaku di masyarakat semata-mata ciptaan manusia yang selalu salah, namun melihat bahwa hukum itu adalah subordinasi dari hukum Tuhan yang diciptakan sebagai perpanjangan hukum Tuhan yang saling terkait.
3. Menganggap bahwa jika kita mencederai hukum maka kita mencederai manusia lain, jika kita mencederai manusia lain maka kita juga mencederai Tuhan. (kita khan diciptakan untuk saling tolong menolong dan berbaik hati khan kepada sesama manusia?
4. Melihat diri kita pribadi sebagai cermin dari aparat hukum (bukan berarti dengan demikian lalu main hakim sendiri) tetapi dengan berfikir cara-cara aparat kita akan selalu berusaha untuk menjadi contoh keteladanan. Sebagai aparat hukum tentunya kita akan aware bahwa kita harus selalu berperilaku dalam koridor ketentuan hukum.
Implikasi Terhadap Pembangunan Hukum

Hukum dalam perspektif antropologis merupakan aktifitas kebudayaanyang berfungsi sebagai sarana pengendalian sosial ( social control ), atau sebagaialat untuk menjaga keteraturan sosial ( social order ) dalam masyarakat Karena itu, hukum dipelajari sebagai bagian yang integral dari kebudayaan secara keseluruhan, bukan sebagai suatuinstitusi otonom yang terpisah dari segi-segi kebudayaan yang lain. Jadi, untuk memahami tempat hukum dalam struktur masyarakat, makaharus dipahami terlebih dahulu kehidupan sosial dan budaya masyarakat tersebut secara keseluruhan.
Kenyatan ini memperlihatkan, bahwa hukum menjadi salah satu produkkebudayaan yang tak terpisahkan dengan segi-segi kebudayaan yang lain,seperti politik, ekonomi, struktur dan organisasi sosial, ideologi, religi, dll. Untukmemperlihatkan keterpautan hukum dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain,maka menarik untuk mengungkapkan teori hukum sebagai suatu sistem ( thelegal system ) yang diintroduksi Friedman seperti berikut :
1. Hukum sebagai suatu sistem pada pokoknya mempunyai 3 elemen, yaitu (a)struktur sistem hukum ( structure of legal system ) yang terdiri dari lembagapembuat undang-undang (legislatif), institusi pengadilan dengan strukturnya,lembaga kejaksaan dengan strukturnya, badan kepolisian negara, yangberfungsi sebagai aparat penegak hukum; (b) substansi sistem hukum( substance of legal system ) yang berupa norma-norma hukum, peraturan-peraturan hukum, termasuk pola-pola perilaku masyarakat yang berada di baliksistem hukum; dan (c) budaya hukum masyarakat ( legal culture) seperti nilai-nilai, ide-ide, harapan-harapan dan kepercayaan-kepercayaan yang terwujuddalam perilaku masyarakat dalam mempersepsikan hukum.
2. Setiap masyarakat memiliki struktur dan substansi hukum sendiri. Yangmenentukan apakah substansi dan struktur hukum tersebut ditaati atausebaliknya juga dilanggar adalah sikap dan perilaku social masyarakatnya,dan karena itu untuk memahami apakah hukum itu menjadi efektif atau tidaksangat tergantung pada kebiasaan-kebiasaan ( customs ),kultur (Culture ),tradisi-tradisi ( traditions ), dan norma-norma informal ( informal norms ) yangdiciptakan dan dioperasionalkan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Dengan mengkaji komponen struktur hukum, substansi hukum, dan kulturhukum sebagai suatu sistem hukum, maka dapat dicermati bagaimana suatusistem hukum bekerja dalam masyarakat, atau bagaimana sistem-sistem hukumdalam konteks pluralisme hukum saling berinteraksi dalam suatu bidangkehidupan sosial (social field ) tertentu. Kultur hukum menjadi bagian darikekuatan sosial yang menentukan efektif atau tidaknya hukum dalam kehidupanmasyarakat; kultur hokum menjadi motor penggerak dan memberi masukan-masukan kepada struktur dan substansi hukum dalam memperkuat sistemhukum.
Kekuatan sosial secara terus menerus mempengaruhi kinerja sistem hukum,yang kadangkala dapat merusak, memperbaharui, memperkuat, atau memilihlebih menampilkan segi-segi tertentu, sehingga dengan mengkaji komponensubstansi, struktur, dan budaya hukum berpengaruh terhadap kinerja penegakanhukum, maka dapat dipahami suatu situasi bagaimana hukum bekerja sebagaisuatu system dalam kehidupan masyarakat (Friedman, 1984:12).

1 komentar:

  1. bagus bgt pemaparannya, pak..
    mohon ijin untuk saya jadikan referensi tugas saya.. trims

    BalasHapus