Senin, 06 Juni 2011

ANALISIS YURIDIS NORMATIF DALAM KETENTUAN HUKUMAN MATI TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA TERORISME (Ditinjau dari pasal 9 ayat (1) Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di zaman modern sekarang ini, Perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang menyangkut masalah sosial, adalah luas sekali, dan semakin tinggi peradaban suatu bangsa maka semakin maju pula ilmu pengetahuan yang berkembang dalam bangsa tersebut. Apabila ilmu pengetahuan terus berkembang tanpa diimbangi dengan semangat kemanusiaan, maka akan berakibat pada akses-akses yang negatif. Akses-akses negatif dari suatu kemajuan ilmu pengetahuan yang disalahgunakan, yang dimana dapat menimbulkan gangguan ketentraman, ketenangan, bahkan seringkali mendatangkan kerugian baik materil maupun inmaterial yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat.
Hukum adalah merupakan keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan dengan suatu sanksi. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum maka hukum harus ditegakkan.
Pembangunan dan pembinaan hukum di Indonesia didasarkan atas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang diarahkan agar dapat menciptakan kondisi yang lebih baik, sehingga masyarakat dapat menikmati suasana tertib dan adanya kepastian hukum yang berintikan keadilan. Peraturan pokok hukum pidana yang sampai sekarang masih berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diberlakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 junto Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan KUHP untuk seluruh Indonesia.
Dalam penerapan hukum pidana hakim terikat pada asas legalitas yang dicantumkan pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan: ”Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas ketentuan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Ketentuan pidana harus di tetapkan dalam Undang-undang, yang berarti bahwa larangan-larangan menurut adat tidak berlaku untuk menghukum orang, selanjutnya ketentuan pidana dalam undang-undang tidak dapat di kenakan kepada perbuatan yang telah di lakukan sebelum ketentuan pidana dalam undang-undang itu diadakan yang berarti , bahwa undang-undang tidak berlaku surut (mundur) Nullum delictum sine pravia lege poenali.
Menurut E. Utrecht, Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung pengertian bahwa hanya perbuatan yang disebut tegas oleh peraturan perundangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, dapat dikenai hukuman (pidana). Apabila terlebih dahulu tidak diadakan peraturan perundangan yang memuat hukuman yang dapat dijatuhkan atas penjahat atau pelanggar, maka perbuatan yang bersangkutan bukan perbuatan yang dapat dikenai hukuman.
Tindak pidana sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi tidak akan berakhir sejalan dengan perkembangan dan dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat. Masalah tindak pidana ini nampaknya akan terus berkembang dan tidak pernah surut baik dilihat dari segi kualitas maupun kuantitasnya, perkembangan ini menimbulkan keresahan bagi masyarakat dengan pemerintah. Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku yang menyimpang yang selalu ada dan melekat pada setiap bentuk masyarakat. Hukum pidana sebagai alat atau sarana bagi penyelesaian terhadap problematika dalam kehidupan, diharapkan mampu memberikan solusi yang tepat. Oleh karena itu pembangunan hukum dan hukum pidana pada khususnya, perlu lebih ditingkatkan dan diupayakan secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan guna menjawab semua tantangan dari semakin meningkatnya kejahatan dan perkembangan tindak pidana.
Kebijakan hukum pidana sebagai suatu bagian dari upaya untuk menanggulangi kejahatan dalam rangka menyejahterakan masyarakat, maka tindakan untuk mengatur masyarakat dengan sarana hukum pidana terkait erat dengan berbagai bentuk kebijakan dalam suatu proses kebijakan sosial yang mengacu pada tujuan yang lebih luas. Dari berbagai macam hukum pidana yang terjadi di negara ini, salah satunya adalah hukuman mati. Sebenarnya tujuan dari hukuman mati itu adalah untuk mencegah timbulnya kejahatan dan pelanggaran berat. Kejahatan-kejahatan yang berat dan pidana mati dalam sejarah hukum pidana adalah merupakan dua komponen permasalahan yang berkaitan erat. Hal ini nampak dalam KUHP Indonesia yang mengancam kejahatan-kejahatan berat dengan pidana mati.
Pada dekade terakhir ini beberapa ketentuan hukum baru justru mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman hukuman maksimal, seperti pada Pasal 36, dan 37 Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Azasi Manusia (HAM), ataupun ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Hukuman mati mempunyai sejarah yang lama dalam masyarakat, dan pernah berlaku dihampir semua masyarakat. Sebagai ilustrasi, dahulu hukuman mati dipandang relevan, sah dan dilakukan secara terbuka di depan umum, dengan cara dipancung, dibakar, atau bahkan disiksa hingga mati. Di hampir seluruh dunia, hukuman mati dilakukan untuk kejahatan-kejahatan subversif berupa penghinaan terhadap Raja atau Pimpinan Agama, kejahatan perang dan pemberontakan, kriminalitas yang disertai dengan kekejaman, dan lain-lain.
Pada masyarakat tradisional dibeberapa suku yang ada di Indonesia, juga melaksanakan pidana mati dengan beberapa cara diantaranya; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, ditumbuk kepalanya dengan alu dan lain lain. Di Aceh seorang istri yang berzinah dibunuh. Sedangkan di Cirebon penculik-penculik atau perampok wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon dianggap kejahatan yang dapat dipidana mati. Dikalangan suku dari Tenggara Kalimantan orang yang bersumpah palsu dipidana mati dengan jalan ditenggelamkan. Di Sulawesi Selatan pemberontakan terhadap pemerintah kalau yang bersalah tak mau pergi ke tempat pembuangannya, maka ia boleh dibunuh oleh setiap orang.
Akan tetapi sangat kontras bila melihat semangat dalam konsitusi kita yang berusaha untuk menjamin dan menjunjung tinggi hak untuk hidup sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pidana mati sebagai salah satu jenis pidana yang paling kontroversial selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia. Bermacam-macam pendapat dan alasan dikemukakan untuk mendukung dan menentang pidana mati.
Dalam perkembangan terakhir, keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. Gugatan ini terkait dengan pandangan “Hukum Kodrat” yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat.
Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia manapun meski atas nama Tuhan sekalipun. Hak Asasi Manusia juga di artikan sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan di lindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 Undang-undang No 39 Tentang HAM)
Keberadaan penerapan eksekusi terpidana mati di dalam hukum positif di Indonesia dilihat dari sejarah dan perkembangannya telah menimbulkan berbagai kontroversi yang mengalami pasang surut sesuai perkembangan budaya, adat, dan teknologi modern dalam ruang lingkup globalisasi yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Indonesia dan Amerika merupakan Negara yang menyuarakan serta menegakan HAM, akan tetapi masih menerapkan hukuman mati. Contoh Kasus, Amrozi dan kawan-kawan dijatuhi hukuman mati terkait peristiwa Bom Bali I. Terpidana menginginkan penerapan eksekusi mati terhadapnya dilakukan dengan cara di pancung berdasarkan Syariat Islam. Berdasarkan Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer pidana mati dilaksanakan dengan cara ditembak sampai mati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Centre (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua diantaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.











































BAB II
PEMBAHASAN


A. Analisis terhadap pengeboman Bali I sebagai suatu Tindak Pidana Terorisme
1. Cara Pelaku Melakukan Tindak Pidana Terorisme
Di setiap Negara tidak dapat lepas dari tindakan-tindakan melanggar hukum baik secara pidana maupun perdata. Namun yang menjadi keresahan masyarakat adalah maraknya tindakan pidana. Tindakan yang dapat mengganggu kepentingan orang lain ini dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Bahkan tindakan ini dapat menghilangkan nyawa orang lain dan mengancam stabilitas Negara.
Beberapa tahun terakhir, Indonesia dikejutkan dengan maraknya kasus bom yang terjadi di restoran, hotel, bahkan kedutaan besar pun tak luput dari serangan bom. Hal ini dikategorikan sebagai kasus pidana terorisme dan mulai menjadi trademark bagi Indonesia sebagai Negara teroris. Dengan dalih menjalankan syariat Islam, teror demi teror dilakukan.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai September Kelabu, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia yaitu menewaskan 202 orang dan melukai lebih dari 300 orang.
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear ”
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia.
Studi yang di lakukan oleh Direktur Program Asia Tenggara di Internasional Crisis Group Sidney Jones mengungkapkan Jemaah Islamiyah (JI) adalah sebuah jaringan Islam radikal yang terbentang di kawasan Asia Tenggara serta di pimpin warga Negara Indonesia. Jaringan ini punya struktur longgar yang mempunyai cirri empat divisi teritorial yang di sebut mantiqi. Mantiqi ini meliputi wilayah yang luas mulai dari semenanjung Malaysia, Singapura, Indonesia hingga Australia.
Jemaah Islamiyah tampaknya beroperasi dengan menggunakan sistem sel dengan struktur organisasi yang khusus dan longgar. Para pemikir utamanya adalah pengikut almarhum Abdullah Sungkar, yang bernama Abu Bakar Ba’asyir. Sebagian besar dari mereka warga Negara Indonesia yang menetap di Malaysia, para veteran perang Afganistan serta alumni latihan militer di Afganistan pasca bubarnya Uni Soviet. Lapis keduanya adalah orang-orang yang memiliki sifat yang sama, mereka di tugaskan sebagai kordinator di lapangan, dan bertanggung jawab atas pengiriman uang dan bahan peledak, serta merekrut orang-orang setempat untuk di bawahinya selaku pemimpin tim dari para operator lapangan. Lapis yang di bawah yaitu orang-orang yang mengendarai mobil, mengintai sasaran, menempatkan bom. Merekalah yang paling sering menghadapi bahaya penangkapan, cedera fisik, atau kematian. Umumnya mereka dipilih beberapa saat sebelum serangan di lakukan. Kebanyakan orang-orang ini adalah pemuda dari pesantren atau madrasah.
Terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror, tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan apa yang mereka perjuangkan.
Dalam membahas terorisme dan kekerasan, adalah penting untuk menyadari bahwa terorisme bukan hanya merupakan suatu bentuk kekerasan, tetapi ia juga merupakan metode dan misi politik yang menggunakan kekerasan. Para teroris memandang kekerasan tidak saja sebagai tujuan, melainkan sebagai cara menunjukan kekuatan dan ancaman terhadap seseorang atau kehidupan masyarakat. Penggunaan kekerasan juga merupakan cara yang efektif untuk menunjukan kekerasan pihak lain, musuh atau saingan yang menjadi bagian sasaran. Jika kekerasan menjadi tujuan, maka ia tidak lagi disebut terorisme. Banyak sekali tindak kekerasan, tetapi ia bukanlah kejahatan terorisme. Tetapi salah satu unsur utama dalam kejahatan terorisme adalah penggunaan kekerasan seperti dengan cara menggunakan atau meledakan bom.

2. Sasaran Tindak Pidana Terorisme
Dalam kasus Bom Bali I sasaran para pelaku tindak pidana terorisme adalah warga Negara asing yang tengah berlibur di Bali, ini terlihat dengan banyaknya jumlah korban meninggal akibat serangan Bom tersebut yang berasal dari Negara Asing, selain itu sasaran ditujukan kepada Fasilitas-fasilitas umum milik Pemerintah.
Para teroris biasanya memusatkan serangan pada bentuk tindakan yang spesifik yang bisa dialami oleh segmen publik yang sangat luas sebagai suatu ancaman pribadi kepada anggota masyarakat tersebut. Sifat serangan acak, dalam kaitannya dengan waktu dan tempat terjadinya, memperbesar ketakutan yang dirasakan oleh objek potensial suatu serangan. Sifat serangan demikian tentu saja menyulitkan aparat yang berwajib atau pihak keamanan untuk mengantisipasi dan menyiapkan strategi yang jitu terhadap kemungkinan waktu dan di tempat mana pelaku terorisme menjalankan aksi kriminalitasnya.
Kekerasan yang dilakukan hanya merupakan alat untuk mewujudkan atau mengimplementasikan misi, target atau tujuan. Suatu kegiatan besar dengan mengorbankan nyawa yang tidak sedikit dan menimbulkan problem ketakutan dalam masyarakat tentu punya target besar dan spesifik. Dari sudut bentuk kejahatannya yang sangat terorganisir menunjukan kalau ada misi yang hendak diwujudkan. Misi ini pulalah yang mendasari atau melatar belakangi kuatnya gerakan yang dibangun dan dilaksanakan oleh kaum teroris. Mereka punya motivasi kalau apa yang dilakukan nanti tidak akan berakhir sia-sia, ada keuntungan secara politik, ideologi yang diperjuangkan agama yang disakralkan serta hal lain yang didambakan.
1. Dampak dan Korban Tindak Pidana Terorisme
Dampak dari pada tragedi Bom Bali I tidak hanya pada 202 orang nyawa melayang tapi juga merusak 513 unit bangunan hotel, restoran, kafe, took, dan rumah tinggal rusak. Selain itu 22 mobil dan 24 sepeda motor hancur. Dari 513 unit bangunan yang rusak, sebanyak 36 bangunan rusak berat dengan kerugian materiil untuk bangunan dan kendaraan bermotor mencapai Rp. 7,2 miliar. Selain itu kerugian akibat kerusakan jalan dan trotoar mencapai Rp. 224 juta, sedangkan PLN Denpasar menderita kerugian senilai Rp. 144 juta, serta PT Telkom Denpasar mengklaim pihaknya rugi senilai Rp. 88 juta akibat rusaknya jaringan telekomunikasi akibat Bom.
Dampak Bom bali I tidak hanya menyebabkan kerusakan sarana dan prasarana, dampak selanjutnya, kunjungan wisatawan ke bali dan tingkat hunian kamar hotel di Kuta anjlok drastis. Sebelum tragedi bom jumlah kunjungan wisatawan yang langsung ke bali setiap bulannya rata-rata tercacat sebanyak 153 ribu orang lebih. Namun setelah peledakan Bom tidak lebih dari 31 ribu wistawan. Penurunan jumlah kunjungan wisatawan tersebut membuat tingkat hunian kamar hotel merosot tajam. Jika sebelum kasus Bom tingkat hunian hotel mencapai 80 persen lebih setiap bulannya, kini hanya tinggal 10 hingga 15 persen saja. Kondisi tersebut tidak di pungkiri Kadis pariwisata kabupaten badung, I Gusti Ngurah Oka Darmawan. Dia mengatakan tidak hanya tingkat hunian kamar, multiplier efek dari Bom bali I sungguh sangat dashyat, beberapa artshop terpaksa tutup , restoran dan hotel sepi tamu, yang akhirnya bermuara pada peningkatan angka pengangguran. Bahkan Oka darwan menyebutkan Pemkab Badung terpaksa merivisi target pendapatan dari pajak hotel dan restoran dari Rp. 324 miliar menjadi hanya Rp. 100 miliar.
Melihat dampak kejahatan terorisme yang demikian mengerikan, pemerintah pun tidak diam begitu saja. Beberapa upaya dilakukan untuk mengatasi dan mengantisipasi kejahatan tersebut. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya instrumen hukum berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) No. 1 Tahun 2002 tentang penindakan kejahatan terorisme yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kedudukan korban tindak pidana dalam perkembangan sejarah hukum pidana, separuhnya menjadi hak korban. Hal ini merupakan akibat pelepasan dendam yang cenderung kejam dan tidak menyelesaikan masalah karena akan timbul pembuat semula berubah menjadi korban berikutnya, dengan demikian hampir tidak ada bedanya kedudukan korban dan pelaku tindak pidana (kejahatan).
Dalam perkembangan selanjutnya muncul bentuk lain, yaitu masyarakat harus diberi kesempatan untuk memintakan pertanggung jawaban dari pelaku yang telah mengganggu ketentraman masyarakat dan untuk menghindari kemungkinan adanya kesewenang wenangan bagi korban. Diperlukan jalan hukum melalui kompensasi dari pelaku untuk korban. Pemberian kompensasi untuk kepentingan korban dianggap sebagai restitusi (restitution) dan untuk kepentingan gangguan keamanan dalam masyarakat dianggap sebagi denda.
Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) saat ini belum ditempatkan secara adil bahkan cenderung terlupakan. Kondisi ini berimplikasi pada dua hal yang fundamental, yaitu tiadanya perlindungan hukum bagi korban dan tiadanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun masyarakat luas. Proses peradilan pidana yang muaranya berupa putusan hakim di pengadilan sebagaimana terjadi saat ini, tampak cenderung melupakan dan meninggalkan korban. Para pihak terkait antara lain jaksa penuntut umum, penasihat hukum tersangka atau terdakwa, saksi (korban) serta hakim dengan didukung alat bukti yang ada, cenderung berpumpun (focus) pada pembuktian atas tuduhan jaksa penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa.
Dalam pasal 36 Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diatur mengenai hak-hak korban tindak pidana terorisme, dimana korban atau ahli warisnya berhak mendapat kompensasi dan restitusi, pelaksanaan pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada menteri keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negri (pasal 38 ayat 1) dan untuk restitusi diajukan oleh korban atau ahli warisnya kepada pelaku atau pihak ketiga (pasal 38 ayat 2). Sedangkan control oleh badan peradilan terhadap pelaksanaan pemberian kompensasi dan restitusi apakah sudah dilaksanakan atau belum, serta bukti yang harus dipenuhi diatur dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ini. pasal 40 yang berbunyi; (1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut. (2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya. (3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan. Dan 41 yang berbunyi; (1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan. (2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.
Dalam hal diancamkannya pidana mati terhadap tindak pidana terorisme sesungguhnya hal itu merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap kepentingan umum yang terancam oleh kejahatan terorisme. Kepentingan umum yang hendak dilindungi dari tindak pidana terorisme tentunya bukan hanya nyawa manusia saja karena lebih dari itu banyak dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh aksi terorisme ini misalnya dapat menimbulkan kehancuran fasilitas publik sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar seperti banyaknya gedung-gedung dan rumah-rumah penduduk yang hancur.
Terorisme juga dapat menyebabkan masyarakat merasa takut dan merasa tidak aman sehingga menimbulkan beban psikologis yang cukup menggangu bagi korban dan masyarakat secara umum. Terorisme dapat memporak-porandakan kepastian hidup sehari-hari dan mematikan kreativitas serta nilai-nilai yang memanusiawikan manusia. Lebih dari itu, tindak pidana tersebut juga sangat mempengaruhi stabilitas negara.
2. Latar Belakang dan Ideologi Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Para Pelaku Bom Bali I, mengaku bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk menegakkan kebenaran dan membela ajaran Islam. Hal ini jugalah yang menyebabkan wacana yang berkembang bahwa teroris dikaitkan dengan Islam. Penelitian Internasional Crisis Group mengungkapkan sebelum peristiwa serangan bom Bali I, motivasi di balik peledakan bom tampaknya mengarah pada pembalasan atas pembantaian terhadap umat Muslim oleh orang Kristen di Indonesia, yakni di Maluku, Maluku Utara, dan Poso (Sulawesi tengah) dimana pernah meletus konflik massal di tahun 1999 dan 2000.
Perang melawan terorisme yang dipimpin AS kini tampaknya menggantikan Maluku dan Poso sebagai objek kemarahan Jemaah Islamiah, apalagi setelah konflik disana mulai mereda. Orang-orang barat di Bali di jadikan sasaran baru serangan JI, peristiwa ini bisa jadi petunjuk adanya pergeseran serangan dari orang Kristen yang ada di Indonesia dengan orang barat yang ada di Bali.
Ketika mendengar kematian Dr. Azhari, Amrozi salah seorang pelaku Bom Bali I, merasa iri dan bersedih hati. Ternyata sahabatnya dari negeri jiran (Malaysia) itu bisa lebih dulu mendapat anugerah kesahidan daripada dirinya. Demikian juga dengan Ali Imron dan Mukhlas, bagi dia hukuman mati justru akan mempercepat pencapaian cita-citanya untuk mati sahid.
Pemikiran seperti yang di anut oleh ketiga terpidana mati inilah yang telah menggerakan aksi serangan Bom teroris di Indonesia selama kurang lebih satu dekade ini. Bagi mereka serangan bom ke tempat-tempat yang banyak di kunjungi orang-orang barat merupakan perwujudan perang suci terhadap orang-orang kafir dan pendukungnya yang mereka sebut Jihad. Kalau pun mereka harus mati dalam melaksanakan jihad, maka sebagai imbalannya mereka dijamin masuk surga.
Di dalam kepercayaan umat Islam sendiri, tidak sedikit yang mendukung pemikiran Amrozi Cs, namun tampaknya yang menentang lebih banyak lagi, mulai dari yang menganggap pemikiran Amrozi Cs bukanlah ajaran Islam sampai yang menganggapnya sebagai aliran bid’ah dan sesat.
Bagi Ustadz Zainal Abidin, Lc ajaran jihad yang di kembangkan Amrozi Cs adalah keliru. Ajaran agama apapun tidak membenarkan aksi terorisme, apalagi Islam agama yang mulia, rahmatan lil ‘alamin, mustahil membenarkan aksi terorisme dengan bom bunuh diri yang menelan banyak korban dan menimbulkan kerusakan serta kerugian yang tidak sedikit. Menurudnya jihat dalam Islam diatur dengan aturan Syariat, tidak seperti yang dilakukan oleh segelintir orang yang mengatasnamakan dirinya jihad fisabililah dan menggelari pelakunya dengan As Sahid dengan membunuh orang-orang kafir.
Dapat dikatakan secara sederhana bahwa aksi-aksi teroris dilatarbelakangi motif-motif tertentu. Seperti misalnya motif perang suci, motif ekonomi, balas dendam, dan motif-motif berdasarkan aliran kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan merupakan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekedar strategi, instrumen atau alat untuk mencapai tujuan.
Al- Ustad Abu Abdillah Muhammad Yahya juga menegaskan teror bukanlah bagian dari ajaran Islam. Pada seminar Rabithah Alam Islami yang diselenggarakan di Makkah atas prakarsa Raja Fahd bin Abdul Aziz.
3. Terpenuhinya Unsur-unsur Tindak Pidana Terorisme
Salah satu pasal pokok tentang tindak pidana terorisme, dirumuskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang selengkapnya berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Secara rinci pasal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut berdasarkan unsur subjektif dan unsur objektifnya, yakni :
a. Unsur subjektif.
1. Setiap orang.
2. Dengan sengaja.
3. menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal.
b. Unsur objektif.
1. merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
2. atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis
3. atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional


Istilah setiap orang dalam rumusan pasal di atas adalah orang perorangan, kelompok orang, baik sipil, militer maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi (Pasal 1 butir 2). “Setiap orang” disini adalah menunjukan kepada subyek hukum atau pelaku tindak pidana terorisme. Pelaku yang dapat melakukan tindak pidana terorisme dalam hal ini ada dua kemungkinan, orang dalam pengertian pribadi ataupun korporasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Para Terdakwa kasus Bom Bali I dalam persidangan telah membenarkan identitasnya sebagaimana yang tercantum dalam surat dakwaan. Sehingga unsur yang pertama ini sudah terpenuhi yakni dilakukan oleh orang.
Unsur kedua adalah dengan sengaja Satu hal yang harus dan perlu diketahui adalah, bahwa tindak pidana terorisme, khususnya terhadap rumusan Pasal 6 adalah merupakan delik dolus atau opzet, yaitu sebagai suatu tindakan kesengajaan bukan kealpaan, karena dengan tegas disebutkan, “setiap orang yang dengan sengaja.”
Unsur ketiga dari redaksi pasal di atas adalah “menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Yang di maksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan penyelahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 1 butir 4). Dari rumusan pengertian kekerasan ini ternyata kekerasan dalam tindak pidana terorisme dalam hal ini bisa dengan memakai sarana dan bisa juga tidak dengan memakai sarana, hanya dengan mengandalkan otot semata-mata, dengan sarana misalnya dengan menggunakan bom, senjata api ataupun senjata tajam. Sehingga bila di sinkronkan dengan kasus Bom Bali I maka unsur yang ketiga ini juga terpenuhi, yakni para pelaku menggunakan Bom untuk melancarkan aksinya.
Unsur penting dalam tindak pidana terorisme yang harus dibuktikan berikutnya adalah berkaitan dengan dua hal, yaitu objek penggunaan kekerasan dan dampak yang ditimbulkannya. Berkaitan dengan objek penggunaan sebagaimana bunyi pasal 6 yang menentukan bahwa objek harus ditujukan pada tempat-tempat vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasiona. Sehingga bila di sinkronkan dengan kasus Bom Bali I maka unsur ini juga terpenuhi. Unsur berikutnya untuk dapat dikatakan suatu kejahatan sebagai kejahatan terorisme adalah, dampak yang ditimbulkan, sebagaimana bunyi pasal 6 “menimbulkan teror atau rasa takut secara meluas”. Konsekuensinya adalah, walaupun bom diledakan pada lokasi fasilitas publik, tapi jika tidak menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dalam kehidupan masyarakat, maka tindakan itu tidak dapat digolongkan ke dalam klasifikasi sebagai tindak pidana terorisme.

Untuk dapat mengukur dampak yang menimbulkan susana teror atau rasa takut secara meluas itu, Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan adalah pada aktivitas ekonomi atau sosial. Apakah dengan terjadinya peledakan itu, aktivitas ekonomi atau kegiatan sosial masyarakat suatu wilayah menjadi lesu atau menurun atau terganggu. Dalam kaitannya dengan tindak pidana terorisme Bom Bali I dapat dikatakan sangat mempengaruhi aktifitas ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat di Bali, karena selain menimbulkan korban jiwa, juga akibat peristiwa Bom Bali I ini banyak fasilitas Umum yang Rusak seperti merusak 513 unit bangunan hotel, restoran, kafe, dan rumah tinggal rusak, PLN Denpasar menderita kerugian senilai Rp. 144 juta, serta PT Telkom Denpasar mengklaim pihaknya rugi senilai Rp. 88 juta akibat rusaknya jaringan telekomunikasi akibat Bom, sehingga memberikan dampak yang sangat besar dalam waktu cukup lama dan berkelanjutan pada kehidupan ekonomi masyarakat Bali. Dampak tragedi tidak hanya terasa dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam bidang kesehatan, baik fisik maupun emosional.
Selama 2,5 tahun pasca tragedi bom Bali, tidak tampak adanya perbaikan dalam keadaan ekonomi rumah tangga di Bali. Pada periode ini, bahkan terjadi peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 3,5 persen, penurunan jumlah jam kerja 4,2 persen, penurunan upah riil 47 persen, dan pendapatan rumah tangga menurun 22,6 persen.
B. Analisa Terhadap Ketentuan Hukuman Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Terorisme Menurud HAM
1. Hak Negara untuk Menghukum Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Isu dan kontroversi mengenai hukuman mati di Indonesia kembali menghangat, setelah masyarakat semakin menyadari betapa dashyatnya ancaman bahaya terorisme bagi stabilitas dan keamanan nasional. Hukuman mati akan terasa sangat berat bagi siapa pun. Pemberlakuan hukuman mati memang selalu mengundang kontroversi. Hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, namun kontroversi ini terjadi pula di sejumlah negara Eropa yang telah membatalkan hukuman mati.
Hukum merupakan petunjuk mengenai tingkah laku dan juga sebagai perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban. Hukum dapat dianggap sebagai perangkat kerja sistem sosial yang melakukan tugasnya dengan menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengatur hubungan antarmanusia. Keadilan harus selalu dilibatkan dalam hubungan satu manusia dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial, interaksi antar manusia tidak dapat dimungkiri lagi.
Sementara itu penanganan terhadap aksi-aksi terorisme dengan pola menindakan hanya kalau sudah menjadi aksi teror, ini sama artinya pemerintah membiarkan jaringan di bawah tanah terus membangun sel-selnya di seluruh wilayah negeri ini, tanpa pemerintah mampu mendeteksi apalagi menindak. Hal ini terbukti sejak bom Bali II tahun 2005 hingga 2009 di Ritz Carlton & JW Marriot. Terungkapnya jaringan terorisme akibat ledakan di Ritz Carlton & JW Marriot tanggal 17 juli 2009 lalu telah membuat bangsa ini kembali berduka, dan memperingatkan bangsa ini bahwa tenyata jaringan terorisme sudah luas bahkan Polri mengakui ada nama-nama baru yang tergabung dalam jaringan Nurdin M.Top.
Tindakan yang dilakukan oleh para pelaku tindak pidana pidana terorisme Bom Bali I sangat merugikan dan membahayakan banyak orang. Tindakan tersebut telah melanggar hukum yang berlaku di Indonesia, terutam pasal 6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang pada akhirnya oleh putusan pengadilan para pelaku dihukum mati.
Hukuman mati memang mengerikan. Dalam hukuman mati ini, manusia seolah-olah mengambil peran sebagai Tuhan, dengan menjadi penentu hidup atau mati seseorang. Setiap manusia sebenarnya memiliki hak untuk hidup, sehingga pemberlakuan hukuman mati oleh Pemerintah, banyak menimbulkan reaksi yang menentang.
Dalam mengatasi permasalahan terorisme, berbagai upaya dilakukan lembaga pemerintah untuk mempersempit ruang gerak serta mencegah dan menanggulangi gerakan terorisme dengan membentuk satuan-satuan anti teror dari Polisi Republik Indonesi (POLRI), namun hal ini dirasa masih belum mampu mengatasi bahkan hal ini menimbulkan reaksi keras dari masyarakat terhadap kinerja aparat yang dinilai selalu kecolongan atau lamban bahkan tidak memiliki kemampuan untuk mencegah dan mengungkap serta menghukum pelaku-pelaku teror.
Rangkaian tindakan terorisme di Indonesia telah menimbulkan kerugian yang cukup besar baik jiwa maupun harta, mengungkap dan mendeteksi secara dini aksi teroris yang memiliki jaringan terorisme Internasional sampai saat ini belum dapat dijangkau secara keseluruhan oleh lembaga dan aparat pemerintah di Indonesia.
Timbulnya terorisme dalam perspektif HAM jelas merupakan suatu pelanggaran yang sangat berat. Dalam kaitannya dengan kasus Bom Bali I, sebagai negara hukum upaya untuk menindak pelaku terorisme harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hukum nasional kita, ketentuan pidana mengenai terorisme diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2002 dan ditetapkan menjadi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
2. Kewajiban Negara Untuk Melindungi Masyarakat
Tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh Amrozi cs pada kasus bom Bali I sangatlah menarik perhatian masyarakat luas, tidak saja di dalam negeri tetapi juga di luar negeri, hal ini karena korban yang ditimbulkan akibat aksi pengeboman tersebut sangat banyak dan sebagian besar korban yang meninggal adalah warga negara asing.
Secara yuridis keberadaan pidana mati di Indonesia telah memperoleh landasan yang kuat, sebab diatur dalam KUHP pasal 10 (a) (1e) KUHP Jo. UU No.2 PNPS 1964 tentang pelaksanaan pidana mati dari gantung menjadi tembak. Bilamana pembuat undang-undang berketetapan untuk membuat suatu norma perilaku menjadi norma hukum untuk seluruhnya atau sebagian, maka yang sering terkandung dalam maksudnya adalah, antara lain untuk memberi ‘perlindungan’ kepada kepentingan umum.
Dalam hal diancamkannya pidana mati terhadap tindak pidana terorisme sesungguhnya hal itu merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap kepentingan umum yang terancam oleh kejahatan terorisme. Kepentingan umum yang hendak dilindungi dari tindak pidana terorisme tentunya bukan hanya nyawa manusia saja karena lebih dari itu banyak dampak negatif lainnya yang ditimbulkan oleh aksi terorisme ini misalnya dapat menimbulkan kehancuran fasilitas publik sehingga menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi masyarakat dan negara.
Terorisme juga dapat menyebabkan masyarakat merasa takut dan merasa tidak aman sehingga menimbulkan beban psikologis yang cukup menggangu. Terorisme dapat memporak-porandakan kepastian hidup sehari-hari dan mematikan kreativitas serta nilai-nilai yang memanusiawikan manusia. Lebih dari itu, tindak pidana tersebut juga sangat mempengaruhi stabilitas negara.
Untuk mengurangi berkembangnya lingkaran terorisme, pemerintah sudah semestinya menggunakan pendekatan yang bersifat khusus, yaitu pendekatan budaya. Bukanlah suatu kemustahilan kalau semua aksi-aksi terorisme yang terjadi pada bangsa ini berawal dari ketidakadilan, kecemburuan dan kesenjangan sosial. Bagaimanapun hebatnya seorang Gembong Teroris tentu tidak akan melaksanakan aksinya secara sendiri. Tentu akan membangun jaringan sehingga terbentuk organisasi pimpinan, perencanaan, pelaku lapangan. Mereka tentu mencari orang yang pernah sakit hati yang lemah kondisi ekonominya, dianggap labil sehingga mudah direkrut.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi dan mengantisipasi kejahatan tersebut. Salah satunya adalah dengan dikeluarkannya instrumen hukum berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang penindakan kejahatan terorisme yang kemudian pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena :
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk tindak pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.

Dalam hal ini pemerintah tidak tanggung-tanggung dan bersikap tegas dalam menanggulangi terorisme. Hal itu terbukti dengan diaturnya pidana mati terhadap beberapa delik terkait kejahatan terorisme, seperti pada pasal 6 dan 7 peraturan ini. Namun demikian, pemerintah juga harus melihat hak-hak asasi dari para pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali I.
Semua hak tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi Tahun 1945 pasal 28A-28J. Dalam pasal 28A telah disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sehingga pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana terorisme sangat bertentangan dengan pasal ini. Selain itu pemerintah juga harus melihat hak para pelaku untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan, dan berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagimana yang tercantum dalam pasal 28B ayat (1) dan (2). Para pelaku tindak pidana terorisme juga mempunyai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum, sesuai dengan ketentuan pasal 28D ayat (1). Hak untuk hidup dan tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, sebagaimana ketentuan pasal 28I ayat (1)
Hukuman mati yang telah dilaksanakan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme juga bertentangan dengan pasal 9 ayat 1 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur tentang hak hidup. Perlu diketahui bahwa Pasal ini berlaku universal, artinya tidak ada pengecualian bagi siapapun, sehingga pelaksanaan eksekusi mati yang telah dilakukan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali I merupakan tindakan yang bertentangan dengan pasal ini.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penegakan HAM tidak boleh mengabaikan hak-hak para pelaku tindak pidana terorisme melainkan harus menghormati dan mengakui keberadaan hak-hak mereka. Sehingga tidak bisa dijalankan secara sepihak dan individual karena alasan para pelaku melakukan pelanggaran HAM.
Suatu hal yang tidak dapat disangkal bahwa kepentingan dari orang seorang anggota masyarakat menjadi tanggung jawab negara, dengan adanya hukuman mati maka hal ini tidak dapat terwujud, karena dengan adanya hukuman mati tersebut, maka tamatlah riwayat orang itu dan tidak ada lagi soal pendidikan dan perbaikan terhadapnya.
Penolakan hukuman mati dimulai awal abad 18, seorang bangsa Italia yakni Beccaria menunjukan adanya pertentangan antara pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin contra social. Contra social karena hidup adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengizinkan untuk pidana mati di dalam contra social adalah immoral dan untuk itu tidak sah. Yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati karena proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunh anaknya sendiri. Beberapa waktu kemudian Voltaire, pujangga termashur dapat membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah, sehingga nama Jean Callas direhabilitasi, meskipun namanya direhabilitasi, tetapi apa gunanya, tanpa salah ia telah mati, dimatikan akibat pidana mati yang diperkenankan pada waktu itu.
Berikut ini adalah pandangan dari beberapa ahli hukum yang kontra terhadap pelaksanaan pidana mati.
Rolling menganjurkan suatu argument bahwa pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu apabila negara tidak menghormati nyawa manusia dan menggangap tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang pulahlah hormat orang pada nyawa manusia, hampir sama dengan pendapat tersebut ialah pendapat Von Hentig tahun 1954 dengan memberikan contoh-contoh dari peristiwa sejarah tentang pengaruh yang tidak baik dari pidana mati, ia menyatakan bahwa pengaruh yang kriminogeen pidana mati itu terutama sekali disebabkan karena telah memberikan suatu contoh yang tidak baik dengan pidana mati tersebut. Sebenarnya negara berkewajiban mempertahankan nyawa manusia, dalam keadaan bagaimanapun.
Van Bemmelen sesuai dengan uraian diatas bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah, pemerintah mengakui ketidakmampuannya dan kelemahannya. Ia tidak dapat lagi menguasai keadaan dan tidak berusaha mencari jalan-jalan lain. Dan sebab itub terjadilah keadaan bahaya definitive. Jikalau pembalasan terhadap pembuat yang sebanding dengan kesalahannya, maka Leo Polak konsekuen kepada pengucapan “keadilan pembalasan melarang pidana mati” Alasannya jika pidana mati segera dilaksanakan, maka manusia tidak merasakan pidana itu. Selama pidana mati belum dilaksanakan tetapi telah diputuskan, maka terpidana menjadi tersiksa ketakutan yang tidak dimaksudkan sebagai pidana.
Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut (teori pembalasan), teori relatif (teori prevensi) dan teori gabungan. Teori absolut (pembalasan) menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan pada kesalahan si pembuat karena tercela dan corak objektit yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan orang yang bersangkutan.
Teori relatif (prevensi) memberikan dasar dari pemidanaan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus, Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar supaya tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan jahat yang telah direncanakannya.
Menurut Muladi tujuan pemidanaan harus tercakup dua hal, pertama, harus sedikit banyak menampung aspirasi masyarakat yang menuntut pembalasan sebagai pengimbangan atas dasar tingkat kesalahan si pelaku dan yang kedua, harus tercakup tujuan pemidanaan berupa memelihara solidaritas masyarakat, pemidanaan harus diarahkan untuk memelihara dan mempertahankan keutuhan masyarakat.
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-undang tentang terorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun.
Menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-undang yang mengatur soal terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan HAM. Melawan terorisme harus ditujukan bagi perlindungan HAM, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.
Pelaksanaan hukuman mati tidak sejalan dengan substansi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yakni sebagai lembaga pemasyarakatan yang menjalankan fungsi pembinaan perilaku para tindak pidana menjadi lebih baik dan bukan membinasakan. Jika dikaitkan dengan tindak pidana terorisme Bom Bali I, maka sudah merupakan kewajiban lembaga pemasyarakatan untuk menjalankan fungsi pembinaan bagi para pelaku terorisme, agar para pelaku bisa sadar akan perbuatannya dan memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana terorisme untuk bertobat dan menyesali perbuatannya, tidak harus dengan memberikan hukumana mati, Memahami makna inilah yang kemudian melahirkan pemikiran atau pendapat yang kontradiktif terhadap pelaksanaan hukuman mati dimana mustahil terjadinya proses pemasyarakatan jika hukuman mati dilakukan.
Hukuman mati selama ini tidak menimbulkan efek jera. Bentuk hukuman mati hanya akan membuat lingkaran balas dendam. Alasannya, ketika masyarakat mengutuk perilaku kejahatan, lalu kemudian dihukum mati, maka pranata hukum sama saja melakukan tindak kejahatan. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling fundamental, melekat dan berlaku bagi semua manusia, tanpa terkecuali. Hak untuk hidup berlaku bagi semua manusia yang berkelakuan baik, termasuk juga manusia yang melakukan kejahatan
Pada akhirnya Tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku tindak pidana yang mempunyai kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki atau memperbaiki dirinya sendiri. Pelaku tindak pidana terorisme Bom Bali I telah dieksekusi mati, padahal mereka masih memiliki hak-hak asasi yang mana harus diperhatikan oleh pemerintah, para pelaku juga masih memilik kesempatan untuk memperbaiki kesalahan





BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengesahan Peraturan Perundang-undangan (Perpu) No. 1 Tahun 2002 menjadi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, mengundang kontroversi diantara para ahli hukum, mulai dari definisi sampai apakah terorisme dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula, pemberlakukan asas retroaktif terhadap para pelaku Bom Bali I, dan pernyataan tidak sah Mahkamah Konstitusi terhadap pemberlakuan asas retroaktif tersebut.
Dalam keberadaan Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia berdiri berdasarkan hukum yang ada. Dalam pelaksanaannya sebagai negara hukum, banyak pro dan kontra ketika negara hukum ini berusaha menegakkan hukum dan menjatuhkan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana terorisme pada kasus Bom Bali I. Kalangan yang menolak hukuman mati beranggapan, hukuman mati melanggar HAM dan bertentangan dengan Pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan pasal 28 A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan hidup dan kehidupannya, Selain alasan tersebut juga dirasakan oleh pendapat umum, bahwa hukuman mati tidak dapat diperbaiki lagi apabila dikemudian hari terbukti bahwa putusan hakim keliru atau terjadi peradilan yang sesat.
B. Saran
Saran yang dapat diberikan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut.
1. Pemerintah harus meningkatkan keamanan dan rasa tentram di masyarakat dengan mengikut sertakan masyarakat di dalamnya.
2. Pemerintah harus berusaha semaksimal mungkin mengakomodir kepentingan-kepentingan masyarakat dan berusaha semaksimal mungkin memperkecil jurang pemisah antara masyarakat yang kaya dengan masyarakat yang miskin, karena Hal ini bisa berakibat terjadinya kecemburuan dan rasa terisolasi yang berdampak negative dalam pencarian jati diri seseorang.





















DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdul Wahid, (et.all.), 2004. kejahatan terorisme (perspektif Agama, HAM, dan Hukum), Refika Aditama, Bandung

Adam chazawi, 2001. Hukum pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Adam kuper dan Jessica kuper, 2000, Ensiklopedia ilmu-ilmu social, Jilid I, Rajawali Pers, Jakarta


Ahmad Zakaria, 2007, kode sumber (source code) website sebagai alat bukti dalam tindak pidana terorisme di Indonesia (studi kasus website Anshar.Net) UI, Depok

Andi dan Sumangelipu, 1983, Pidana Mati Di Indonesia Di Masa Lalu, Kini Dan Di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Makassar

Ardison Muhammad, 2010, Terorisme ideologi penebar ketakutan, Liris, Surabaya
Bambang Poernomo. 1997. Azas-azas Hukum Pidana. : Dahlia Indonesia, Jakarta
Dimyati Khuzadaifah, Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, UMS Press 2004, Surakarta

E.Utrecht / Moh. Saleh Djindang, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru dan Sinar Harapan, Jakarta.

Hartono Hadisoeprapto, 2004. Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta
Indriyanto Seno Adji, 2001 “Terorisme, Perpu No.1 tahun 2002 dalam Perspektif Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia , Jakarta

J. M. van Bemmelen, 1984, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Diterjemahkan oleh Hasan , Bina Cipta.

Loebby Loqman, 1990, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di Indonesia, Universitas Indonesia

Mertokusumo Sudikno, 1999. Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta
Moeljatno, 1983, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Muhammad Taufik Makarao, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana, Yogyakarta

P.A.F Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia: Sinar Baru, Bandung

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum , UI Press. Jakarta
Widiyanti Ninik dan Panji Anoraga, 1987, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya, Ppradnya Paramita, Jakarta

B. Internet
http://www.scribd.com/doc/4683235/Terorisme- tanggal 19 Januari 2010 (tgl acces)
http://makaarim.wordpress.com/2007/10/22/beberapa-pandangan-tentang-hukuman-mati-death-penalty-dan-relevansinya-dengan-perdebatan-hukum-di-indonesia

http://hamdyt.blogspot.com/2010/01/b-Unsur-Unsur \ Elemen Elemen Tindak Pidana Menurut Hazewinkel Suringa unsur-unsur-tindak-pidana.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukuman_mati.tentang pengertian dan penerapan hukuman mati di Indonesia

http:/jongjava.com/web/news-story/internasional/215-hukuman-mati-sebuah-sejarah. Hukuman mati menjadi fenomena sepanjang masa dalam sejarah hukum dunia

http://www.dephan.go.id/index.php,ciri-ciri terorisme. Manajemen krisis Dalam Penanggulangan Terorisme
http://techno.okezone.com/read/2009/07/17/55/239895/topik-bom-kuningan-jadi-nomor-1-di-twitter

http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=2621 Strategi Bertahan Hidup Masyarakat Bali Pasca Tragedi Bom Bali I,
www.elsam.or.id/pdf/kursusham/Tinjauan_Umum_Hukum_HAM.pdf. Kajian
Hukuman Mati dalam Pandangan Hak Asasi Manusia (laporan kajian sekretaris subkomisi pengkajian dan penelitian, roichatul aswidah)

www.library.usu.ac.id/download/fh/pid-syahruddin.pdf
Dafri Agussalim, “ Mencari Cara Memerangi Terorisme”, Kompas Cyber Media, (Kamis 23 Agustus 2003). www.kompas.com

Frans Hendra Winata, “ Terorisme itu Kejahatan Luar Biasa” , Kompas Cyber Media, www.kompas.com. (11 September 2004)

Amir Syamsuddin, “ Menegakkan Hukum Tanpa Rasa Keadilan”, Kompas Cyber Media, 30 Juli 2004, www.kompas.com

Loudewijk F. Paulus, “Terorisme”, http://buletinlitbang.dephan.go.id
Rikard Bangun, 2002. Indonesia di Peta Terorisme Global, http://polarhome.com
Koalisi Internasional”, http:/www.usembassyjakarta.org/terrornet/keberanian.html

1 komentar:

  1. saya mahasiswa dari Jurusan Hukum
    makalah yang sangat menarik, bisa buat referensi ni ..
    terimakasih ya infonya :)

    BalasHapus